Senin, 16 April 2012

MAKALAH KITAB SAHĪH IBN KHUZAYMAH DAN SAHĪH IBN HIBBĀN


MAKALAH
KITAB SAHĪH IBN KHUZAYMAH 
DAN
SAHĪH IBN HIBBĀN

                                                                                   
 
A.    Pendahuluan
Hadis adalah salah satu sumber hukum primer agama setelah Quran. Meskipun tidak ada jamainan dari Allah SWT akan keotentikannya -beda dengan Quran yang mendapat legetimasi dari Allah (baca Qs Al- Hijr: 9), akan tetapi sejarah mengabadikan bagaimana usaha ulama untuk menjaga keotentikan hadis dari masa kemasa. Ini bisa kita lihat dengan wujudnya kodifikasi hadis, displin ilmu hadis, dan pembelaaan terhadap hadis sejak zaman sahabat sampai sekarang ini.
Usaha dan jerih payah ulama dalam mengkodifikasikan hadis-hadis nabi Muhammad SAW, merupakan sumabangan khazanah ke-Islaman terbersar yang bisa dinikmati oleh generasi-genarasi berikutnya dalam upaya memahami pesan nabi Muhammad SAW sesuai dengan apa yang beliau maksudkan.
Dari sekaian buku hadis yang dikumpulkan dan dibukukan oleh para ulama, ada buku hadis yang sering kita denagar sebutannya, yaitu Sahīh Ibn Khuzaymah dan Sahīh Ibn Hibbān. Meskipun demikian, biografi pengaranganya, informasi apa yang terkandung dalamnya, bagaimana metode penulisannya, dan hal-hal yang berkaitan dengan dua buku hadis tersebut masih asing ditelinga kita.
Tak jarang pengetahuan mereka yang mendidik dibidang keagamaan tentang  kedua buku ini masih minim. Oleh karena itu, penulis akan menyuguhkan hal-hal di atas dalam paparan makalah.

B.     Ibn Khuzaymah
1.      Biogarafi Ibn Khuzaymah
Nama lengkap Ibn Khuzaymah adalah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaymah bin Mughirah bin Solih bin Bakr as-Sulami an-Naisaburi. Ia lahir pada bulan Safar 223 H=838 M di Naisabur, sebuah kota kecil di Khurasan, yang sekarang terletak bagian timur laut Negara Iran.[1]
Sejak kecil ia mempelajari Quran, di samping itu, ia juga sudah berkeinginan untuk mempelajari hadis. Namun keinginan itu tertunnda, karena ayahnya meminta agar Ibn Khuzaymah terlebih dahulu mempelajari Quran. Setelah dianggap mampu, ayahnya memberi izin kepada Ibn Khuzaymah untuk menacari dan mempelajari Hadis Nabi Muhammad SAW  dengan Muhammad bin Hisyam dan Ibn Qutaibah di Marwa.
Sejak usia 16 tahun Ibn Khuzaymah berusaha untuk mencari tahu dari apa-apa yang ia amalkan di dalam agama. Dengan demikian, ritual keagmaan yang ia lakukan tidak hanya taqlīd. Hal ini bisa kita lihat dari pernyataan beliau; “sejak umur 16 tahun, aku tidak pernah taqlīd lagi”.[2]
Kemampuan intlektual ke-Islaman Ibn Khuzaymah pun kian berkembang, apa lagi setelah ia melakukan kunjungan keberbagai daerah Islam. Di Naisabur ia belajar dengan Muhammad bin Humaid, Ishaq bin Rahwaih, di Marwa kepada Ali bin Muhammad, di Roy kepada Muhammad bin Maron,  di Syam kepada  Musa bin Sahl al-Ramli, di Mesir kepada Yunus bin Abd al-‘Ala’ di Baghdad kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani, di Basrah kepada Nasr bin Ali al-Azadi al-Jahdimi, dan di mekah kepada Abu Kuraib…[3]
Selain itu, Ibn Khuzaymah juga banyak meriwayatkan hadis dari Ahmad bin Mani’, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Basyar, Bukahrai, Muslim dan lain-lain.
Demikian juga dengan murid-murid yang pernah meriwayatkan hadis dari Ibn Khuzaymah jumlahnya sangat banyak, di antaranya:  Yahya bin Muhammad bin Said, Abu Ali an-Naisaburi, Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl. Bahkan ada sebagaian guru Ibn Khuzaymah yang meriwayatkan hadisnya, seperti Bukahri, Muslim, dan Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakam.
Hadis-hadisnya pun banyak diriwayatkan oleh ulama terkemuka pada zamanya, di antaranya ialah Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabari, Abu Hatim, Muhammad bin Hibban al-Busyti, Abu Bakar Muhammad bin Ismail…

2.      Pujian dan Kritik Ulama Terhadap Ibn Khuzaymah
Menurut Al-Dar Quthni: “Ibn Khuzaymah adalah imam besar yang tidak ada tandingannya”. Meskipun ia bermadzhab Syafi’i, akan tetapi ia bukanlah orang yang fanatik.[4]
Ibn Hibban berkata: “Aku tidak menjumapai seorang pun di muka bumi ini yang sangat bagus dalam menyusun kitab selain Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaymah), karena lafadz-lafadz hadisnya terpelihara, kesahihan dan tambahan-tambahan hadisnya, sehingga seolah-olah semua hadis ada di sana”.
As-Suyuti memberikan komentar, “bahwa Sahīh Ibn Khuzaymah lebih tinggi dari pada Sahīh Ibn Hibbān, karena lebih selektif, beliau berhenti pada hadis sahih dan sedikit membicarakan isnad”.[5]
Ibn Katsir juga memberikan pujian; “Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban komitmen dengan penulisan hadis sahih, dan ini, tentu lebih baik dari pada kitab Mustadrak, as-Sanad dan matannya juga lebih terjamin”.[6]
Terlepas dari berbagai penilaian dan pujian positif, hadis yang terkandung dalam Sahīh Ibn Khuzaymah tidaklah semuanya sahih. Karena Ibn Khuzaymah juga manusia yang tidak luput dari kesalahan…
Ibn Hajar member komentar, bahwa hadis yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah dari jalur Ibn al-Muthawwas dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Rasul SAW:
(( من أفطر يوما من رمضان في غير رخصة رخصها الله, لم يقضيه عند صوم الدهر))
adalah hadis yang di dalamnya ada ‘ilat
Meskipun demikian, menurut Sa’ad bin Abdullah, bahwa Ibn Hajar kurang cermat untuk melihat pernyataan Ibn Khuzaymah dalam hadis ini. Karena Ibn Khuzaymah sendiri memberikan pernyataan bahwa, “jika hadis ini sahih, akan tetapi saya tidak mengenal Ibn Muthawwis dan ayahnya”.[7]

3.      Karya-Karya Ibn Khuzaymah
Ibn khuzaymah wafat pada bulan Dzulqa’dah tahun 311 Hijriah. Selama hidup ia banyak membuat karya tulis. Menurut Hakim Abu Abdullah, bahwa karangan-karangan Ibn Khuzaymah mencapai lebih dari 140 buah. Akan tetapi dari sekian karnyanya, hanya tiga kitab yang bisa kita temukan sekarang ini:
Pertama, Kitāb at-Tauhīd, kitab ini sudah dicetak beberapa-kali, terakhir dicetak dua jilid dan di tahqīq oleh syekh Abdul Aziz Syahwan;
Kedua, Sya’an ad-Du’a wa Tafsir al-Ad’iyah al-Ma’tsurah an Rasulillah Salla Allah ‘alaihi wa Sallam, sampai sekarang, kitab ini masih berbentuk manuskrip yang tersimpan di perpustakaan Al-Zāhiriyyah Damaskus;
Ketiga, Sahīh Ibn Hibban, ini adalah kitab yang menjadi kajian penulis pada makalah ini.[8]

4.      Mengenal Kitab Sahīh Ibn Khuzaymah
Kitab hadis karya Ibn Khuzaymah yang lebih dikenal dengan sebutan Sahīh Ibn Khuzaymah adalah nama popelernya. Akan tetapi jika kita melihat dari pernyataan Ibn Khuzaymah sendiri, bahwa nama kitab ini aslinya adalah Mukhtashar al-Mukhtashar min al-Musnad al-Sahīh an an-Naby Salla Allah ‘alaihi wa Sallam.
Dari nama kitab ini, maka jelaslah bagi kita, bahwa kitab ini adalah ringkasan dari Musnad al-Kabīr.[9] Hal ini terbukti dari beberapa pernyataan Ibn Khuzaymah di antarnya:
Dalam Kitāb at-Tauhīd Ibn Khuzaymah memberi isyrat dengan perkataanya:
((خرجته بطوله في كتاب الصدقات من كتاب الكبير))
“saya menguraikan hadis ini dengan panjang dalam bab as-Shadaqāt dari kitab al-Kabīr”.
Dalam kitab Sahihnya, Ibn khuzaymah menyebutkan nama kitabnya Al-Musnad al-Kabīr berulang kali, seperti pernyataannya:
((وسأبين هذه المسئلة بتمامها فى كتاب الصلاة فى المسند الكبير لا المختصر))
“saya akan menjelaskan secara lengkap pada bab as-Shalāt dalam al-Musnad al-Kabīr, bukan al-Mukhtasar”.
((قد خرجت هذا الباب بتمامه فى كتاب الصلاة من كتاب الكبير))
“saya menguraikan bab ini dengan luas dalam bab as-Shalāt dari kitab al-kabīr”.[10]

Dari beberapa pernyataan di atas jelaslah bagi kita, bahwa Sahīh Ibn Khuzaymah hanyalah nama populernya saja, bukanlah nama asli dari kitab yang dikarang oleh Ibn Khuzaymah.
Karena kitab Sahīh Ibn Khuzaymah adalah kitab ringkasan dari kitab al-Musnad al-Kabīr, maka kita akan menemukan hadis-hadis yang ditulis Ibn Khuzaymah tidaklah utuh, seperti:
Dalam jilid pertama halaman 79, Ibn Khuzaymah menulis:
(( ثم أخذ بيمينه - يعني الماء – وصكّ بها وجهه...وذكر الحديث))
Ada juga hadis yang hanya beliau sebutkan tengahnya saja, seperti hadis Umran bin Hushain dalam perjalannanya bersama Rasul SAW, ketika Rasul dan para sahabatnya tertidur dan meninggalkan shalat subuh;
 يقول عمران -رضي الله عنه-: (( فما أيقظنا إلا حر الشمس ))[11]
Sahih Ibn Khuzaymah yang beredar saat ini pada mulanya merupakan manuskrip. Dan manuskrip ini pertama ditemukan sekitar abad ke-6 atau abad ke-7 Hijriah di sebuah toko Ahmad Tsalist di Istanbul. Al-Mubaroktuni dalam Muqaddimah Tuhfat al-Ahwazi menyatakan, bahwa manuskrip tersebut juga ditemukan di toko-toko buku lainnya di Eropa. Manuskrip tersebut berjumlah 311 halaman, setiap halamannya terdiri dari 25-31 hadis.
Belum diketahui secara pasti kapan manuskrip tersebut mulai disalin ulang dan menjadi naskah cetakan. Namun naskah yang beredar sekarang adalah naskah Ibn Khuzaymah hasil dari suntingan (tahqiq) M.M. ‘Azami, naskah ini pertama kali diterbitkan oleh Maktab al-Islami, Bairut pada tahun 1390 H=1970 M. Dan pada tahun 1981, naskah ini kemudian diterbitkan oleh penerbit yang berbeda, seperti at-Thaba’ah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah al-Mahdudah, Riyad. Pada tahun 1992 penerbit pertama mencetak ulang.[12]
Tahqiq M.M. ‘Azami ini banyak memberi kontribusi positif, sehingga mudah bagi generasi sekarang untuk membaca Sahīh Ibn Khuzaymah, apa lagi hadis-hadis di dalamnya diberi nomor.
Jumlah hadis yang ada dalam Sahih Ibn Khuzaymah adalah 3079. Dari sekian hadis tersebut, tidak semuanya sahih. Hal ini juga dinyatakan oleh Muhammad Mustafa al-‘Azami dalam muqaddimahnya:[13]
“ Sesungguhnya Sahīh Ibn Khuzaymah tidaklah seperti Sahīh Bukharī dan  Muslim. Di dalmnya terdapat hadis sahih, hasan, dhaīf dan hadis yang sangat dhaīf. Hal ini akan lebih jelas lagi bagi orang yang mau meneliti kitab ini. Meskipun demikian, bandingan antara dhaīf dan sahih tidak sepadan, sehingga seakan-akan tidak ditemukan hadis dhaīf dalam Sahīh Ibn Khuzaymah.[14]

5.      Contoh-Contoh Hadis dalam Sahīh Ibn Khuzaymah
a.       Hadis dhaīf;
Adapun contoh hadis yang sangat dhaif adalah hadis tentang keutmaan bulan Ramdan yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah dalam kitabnya, pada bab Shiyām dari shohabī Salman al-Farisi:
إن شهر رمضان (( أوله رحمة, وأوسطه مغفرة, و أخره عتق من النار))[15]
b.      Hadis yang tidak Ibn Khuzaymah Komentari;
(Dalam jilid III, halaman 248, hadis yang di riwayatkan ‘Asim bin Ubaidillah, Ibn Khuzaymah berkata: ((أنا بريء من عهدة عاصم))…)[16]
c.       Hadis yang Jelas ‘Ilatnya dan Ia Riwayatkan;
(Dalam jild III, halaman 115, hadis yang diriwayatkan lewat jalur musa bin Abi Usman dari Abu Hurairah, Ibn Hibban berkata: “Saya luput dalam meriwayatkan hadis ini, karena hadis ini Mursal, karena Musa bin Abi Usman tidak pernah mendengar langsung dari Abu hurairah, yang mendengar langsung dari Abu hurairah adalah ayahnya)[17]
d.      Hadis Dhaif, tapi matannya sahih…;
(seperti hadis ((أفطر الحاجم والمحجوم ((, hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Khuzaymah lewat jalur Tsauban, kemudian hadis ini juga diriwayatkan ‘Uqbah lewat jalur Hasan al-Basri dari Tsauban, kemudian Ibn Khuzaymah berkata; “Hasan tidak pernah mendengar dari Tsauban, menurut-ku hadis Tsauban adalah hadis yang sanadnya sahih…)[18]

6.      Metode Penulisan Sahīh Ibn Khuzaymah
Metode atau sistematika penulisan Sahih Ibn Khuzaymah sebenarnya dengan metode imla’ (dekte) kepada para muridnya, hal ini bisa kita temukan dalam beberapa pernyataan Ibn Khuzaymah, di antaranya: dalam Kitab at-Tauhid,
((قد أمليته في كتاب الإيمان)), dalam kitab Sahīh, ((أمليت فى أول كتاب الصلاة))…,[19]           
Selanjutnya jika kita runut dalam pernyataanya yang termaktub dalam kitabnya Mukhtashar al-Mukhtashar min al-Musnad al-Sahīh an an-Naby Salla Allah ‘alaihi wa Sallam, kita akan menemukan beberapa sikap Ibn Khuzaymah dalam penulisan kitabnya:[20]
a.       Hadisnya harus di nuqīl dari orang yang adil;
b.      Hadisnya harus muttasil sampai kepada Rasul SAW;
c.       Sanad hadisnya tidak munqati’;
d.      Para Perawi hadis tidak kena jarh;
e.        Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang Ibn Khuzaymah meraguinya, dan orang yang tidak ia kenal, apa lagi tidak ada penjarhnya, maka belaiu lebih pilih diam.[21]

7.      Catatan Penting dan Faedah Sahīh Ibn Khuzaymah
Ada beberapa faedah yang membuat Sahīh Ibn Khuzaymah mendapat perhatian dari para pembacanya, di antaranya:[22]
-          Dalam setiap bab Ibn Khuzaymah meng-istinbath hukum-hukum fikh -hal ini mirip dengan apa yang dilakukan Bukhari-, kemudian ia meng-ikutsertakan beberapa hadis, hal inilah yang membuat Ibn Khuzaymah dijuluki ahli fikih yang punya perhatian terhadap bahasa. Konstruk hukum yang ia keluarkan bersandar dengan beberapa dalil yang ia ambil dari kitab itu sendiri;[23]
-          Memberi komentar (ta’līq) kepada beberapa hadis, ada kalanya menginterprestasi lafadz yang gharīb, atau menjelaskan makna yang samar;[24]
-          Menggkomparisikan dua riwayat yang secara zahir tampak bertentangan;[25]
-          Menyebutkan nama perawi dengan jelas, jika di dalam isnad ditemukan perawi yang hanya dengan sebutan kunyah, julukan, atau menyebutkan namanya saja dengan tanpa nasab;[26]
-          Menta’dil dan menjarh sebagian para perwai;[27]
-          Menolak hadis mudallas yang diriwayakan dengan sighat ‘an’anah, hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang dhaif, hadis yang teksnya oleh sebagian perawi tidak didengar dari orang lain;[28]
-          Menjelaskan ‘ilal yang samar dalam beberapa hadis, dan sanad yang maqlūb;[29]

C.     Ibn Hibban
1.      Biografi Ibn Hibban
Nama beliau adalah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Muaz bin Ma’bad Abu hatim at-Tamimy al-Busty as-Sijistany. Beliau dilahirkan pada tahun 270 H=884 M di daereh Sijistan, Afganistan (sekarang). Dan beliau wafat pada tahun 354 Hijriah.[30]
Menurut Az-Zahabi, pada awal tahun 300 Hijriah, Ibn Hibban melakukan pengayaan intlektual dengan menimba ilmu di beberapa Negara, selain di daerah di mana ia dilahirkan, ia juga pergi menuntut ilmu ke-Naisabur, Irak, Syam, Mesir, dan Hijaz… lewat pengembaraannya ini -seperti yang ia sebutkan dalam muqaddimah kitabnya-, gurunya mencapai ribuan. Akan tetapi dari sekian banyak guru, ia hanya meriwayatkan hadis lewat jalur -+ i50 guru saja, dan menurut Ibn Hibban hanya 20 orang guru saja yang paling dhabit dan mu’tamad. Di antaranya: Abu Ya’la al-Mausuly, Ibn Khuzaymah, Hasan bin Sufyan, dan Abu ‘Arubah al-Harany.
Ibn Hibban adalah seorang ulama yang tidak hanya pandai dibidang hadis, akan tetapi banyak displin ilmu lain yang ia kuasai, seperti fikih, kalam, kedokteran, dan ilmu falak.
Keahliaanya dibidang fikih bisa kita lihat dalam pertentangannya dengan pendapat Abu Hanifah pada waktu itu, ketidak setujuaanya ini ia tuangkan dalam sebuah karya yang setebal 10 jilid…[31]
Keahlianya dibidang kalam bisa kita lihat beberapa pemahaman Ibn Hibban terhadap hadis Rasul SAW, di antaranya adalah hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
 ((يتقارب الزمان و ينقص العلم))
Menurut Ibn Hibban, “lewat hadis ini Rasul SAW memberi kabar bahwa pada akhir zaman nanti ilmu akan berkurang, saya melihat pada dasarnya semua ilmu akan berkembang kecuali pada displin ilmu satu ini -yang beliau maksud adalah ilmu hadis dan sunan-, setiap harinya ia berkurang. Ilmu yang Nabi jadikan khitab kepada umatnya setiap harinya berkurang dengan berkurangnya orang yang mengetahu sunan, jalan satu-satunya untuk mengetahui sunan adalah mengetahui para perawi dhaif dan yang ditinggalkan”.[32]
Keahliannya dibidang ilmu kalam tidak selalu berhujung manis, bahkan atas pengaruh ilmu kalamnya ia hampir saja terbunuh, karena gagasannya membuat bingung umat. Cobaaan ini adalah imbas dari pernyataan Ibn Hibban “Kenabian  dengan ilmu dan Amal”. Gagasan ini lah yang membuat banyak orang yang memberi cap zindiq kepada Ibn Hibban. Tidak cukup itu saja, ia juga diusir dari Sijistan dan dilaporkan kepada Khalifah. Akhirnya Khalifah memutuskan untuk membunuhnya, akan tetapi Ibn Hibban lari dan bersembunyi.[33]

2.      Pujian Ulama terhadap Ibn Hibban
Menurut al-Hakim, Ibn Hibban adalah orang yang peduli terhadap ilmu, fikih, hadis, bahasa, dan nasehat, ia juga termasuk orang-orang yang cerdas.
Menurut Khatib al-Baghdadi, Ibn Hibban adalah orang baik dan terpercaya, karyanya juga banyak…[34]
Ibn ‘Asir berkomentar, Ibn Hibban adalah imam pada masanya, jumlah karyanya tidak tertandingi.[35]

3.      Karya-Karya Ibn Hibban
Ibn Hibban adalah salah satu ulama yang sangat produktif, sehingga banyak sekali peninggalan-peninggalan karyanya yang bisa dimanfatkan oleh generasi-genarasi berikutnya.
Meskipun demikian, tidak semua karyanya bisa kita temukan. Karya Ibn Hibban yang tidak bisa kita jumpai saat ini adalah: ‘Ilal Auhām al-Muarrikhīn (kitab ini terdiri atas 10 juz), ‘Ilal hadīst az-Zuhrī (20 jilid), ‘Ilal Hadīst Mālik (10 Juz), Wasf al-Ulum wa ‘Anwā’uhā (30 juz)….
Peninggaln Ibn Hibban yang masih dapat kita jumpai adalah: Kitāb as-Tsiqāt, Kitāb al-Majruhīn min ad-Dhuafā’ wa al-Matrukīn min ar-Ruwwāt. Kedua kitab ini adalah ringkasan dari Kitāb at-Tārikh karya Ibn Hibban juga, Kitāb Masyāhīr al-Ulamā’ al-Amshār, Raudhah al-Uqalā’ wa Nuzhah al-Fudhalā’, dan Sahīh Ibn Hibbān.[36]

4.      Mengenal Sahīh Ibn Hibbān
Kitab ini populer dengan sebutan Sahīh Ibn Hibbān, padahal jika kita observasi lebih jauh, nama asli kitab ini adalah Al-Musnad as-Sahīh ‘ala at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’ fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī Nāqilihā.
Kata Taqāsim dan ‘Anwa’ mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau sistematika penulisan-,  yang di maksud Taqāsim adalah bagian lima:
Pertama, Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya;
Kedua, Larangan-larangan yang Allah haramkan bagi hamba-Nya;
Ketiga, Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib diketahui;
Keempat, Ibahah yang Allah perbolehkan untuk hamba-Nya;
Kelima, Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian mempunyai aneka ragam bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam “Perintah-perintah yang Allah wajibkan terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu juga pada bagian kedua.
Bagian ketiga memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah seluruhnya 400 bab.[37]
Dalam hal dua riwayat tsiqah yang bertentangan, satunya marfu’ dan satunyalgi mauquf, atau satunya mausul dan satunya mursal, Ibn Hibban menggunakan metode untuk menerima yang marfu’ dan mausul dengan tidak menjelaskan ‘ilat yang lainya, karena kedua-duanya tsiqah.[38]
Latar belakang penulisan buku ini tertera dalam muqaddimah Sahīh Ibn Hibbān, yaitu, Ibn Hibban melihat banyak manusia yang berpaling dari Sihah as-Sunnah, banyak sekali hal-hal aneh dan lemah masuk di dalam hadis. Atas dasar cinta Ibn Hibban terhadap sunah Rasul SAW kemudian ia mengarang kitab Sahīh Ibn Hibbān ini. Kecintaanya tidak hanya terwujud dalam bentuk karnya saja, akan tetapi ia memberikan pernyataan; “Hendaklah manusia menghafal Sunan dan berpegang teguh dengan metode yang benar seperti yang telah dilakukan oleh ulama klasik.[39]
 Ibn Hibban memberikan wejangan atas sulitnya bahasa yang ia gunakan, untuk dapat memahami Sahīh Ibn Hibbān hendaklah didekati dengan dua hal ini:[40]
Pertama, membaca kitab ini darai awal sampai akhir, hal demikian ini akan memudahkan pembaca menemukan ha-hal yang sulit…
Kedua, menghafal kitab ini, jika hafal, maka akan mudah baginya untuk mendatangkan hadis yang ia inginkan.

5.      Peran Al-Amir Alauddin Ali Al-Farisy dalam Penyusunan Sahīh Ibn Hibbān
Al-Farisy adalah orang yang menyusun Sahīh Ibn Hibbān sehingga menjadi kitab yang sistematis, diberi nomer, bab fikihnya berurutan… Usaha Al-Farisy ini menjadikan kitab yang popeler dihadapan kita dengan sebutan Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān. Meskipun demikian, Al-Farisi tidak melupakan hal-hal penting yang sudah ditetapkan oleh Ibn Hibban, seperti istinbath fikih-nya dan komentar-nya terhadap beberapa hadis.[41]

6.      Syarat-Syarat Perawi Versi Ibn Hibban
Ada lima syarat perawi yang ditetapkan Ibn Hibban dalam kitab sahihnya:
Pertama, adil dalam agama dengan satr al-Jamīl[42];
Kedua, Jujur di dalam hadis dengan kemasyhurannya;
Ketiga, Hadis yang diceritakan bisa dimengerti oleh perawi;
Keempat, Mengrtahui kesulitan makna hadis yang diriwayatkan;
Kelima, Hadisnya bebas dari tadlīs.
Jika ke-lima hal ini ada pada perawi, maka hadisnya bisa dijadikan hujjah, tapi jika tidak, maka hadisnya ditolak.[43]
Meskipun syarat-syarat yang ditetapkan Ibn Hibban sangatlah ketat, pada beberapa hal justru Ibn Hibban melanggar syarat-syarat yang beliau tetapkan. Dalam ke-tsiqahan ia lebih cendrung member dispensasi, dalam jarh ia sangat ketat, sehingga Muhammad bin Fadl as-Sudusi yang dijuluki ‘Ārim dan terkenal ke-tsiqahannya malah ia jarh dengan sesuatu yang tidak pantas.[44]

7.      Contoh Hadis dalam Sahīh Ibn Hibbān
-          Larangan kepada seseorang untuk beranggapan bahwa dia tidak butuh dengan apa yang ada dalam Quran.
(120) أخبرنا محمد بن الحسن بن قتيبة, قال: حدثنا يزيد بن موهب, قال: حدثنا الليث, عن أبي ملكية, عن عبيد الله بن أبي نهيك.
عن سعد بن أبي وقاص, عن رسول الله صلى الله عليه وسلم, قال: ((ليس منا من لم يتغنّ بالقرأن)).
قال أبو حاتم: معنى قوله صلى الله عليه وسلم: ((ليس منا)) فى هذه الأخبار يريد به: ليس مثلنا فى استعمال هذا الفعل, لأنا لانفعله, فمن فعل ذلك ليس مثلنا.[45]
D.    Penutup
Khazanah ke-Islaman sekaligus penjaggan terhadap peninggalan Nabi Muhammad SAW, ternyata tidak ada hentinya.
Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban adalah bagian dari deretan ulama yang sangat peduli dengan hadis-hadis nabi Muhammad SAW, hal in terbukti dengan peningalan karya-karya mereka yang sampai saat ini masih bisa dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya.
Meskipun demikian, sistematika karya mereka yang kita temukan dan mudah untuk kita dekati, tentu setelah melalu proses penyempuranan dengan beberapa ta’līq, tahqīq, penomeran hadis, dan penyusunan bab dari mereka yang sangat perhatian terhadap peninggalan karya-karya ulama besar.
Tanpa perhatian mereka, tentu sukar bagi kita untuk menemukan manuskrip-manuskrip kuno peninggalan Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban.
Oleh karena itu, bagaimana kita berusaha untuk mengenal lebih jauh tentang Sahīh Ibn Khuzaymah dan Sahīh Ibn Hibbān serta apa yang termaktub di dalamnya, agar karya-karya besar seperti ini bisa lebih bermanfaat bagi kita khususnya dan umumnya bagi masyarakat.
Wallahu A’lam.


                                    




DAFTAR PUSTAKA
                Abdurrahman M., Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003)
            Abu Zahwu Muhammad, al-Hadīst wa  al-Muhadditsūn, Dar al-Fikr al-‘Araby, tth.
Al-‘Azami Muhammad Mustafa, Sahīh Ibn Khuzaymah, al-Maktab, al-Islamī, Cet II 1992.
Al-Farisi, Al-Amir ‘Alauddin Ali bin Balban, Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut- Libanaon, Cet II, 1996 M.
Hasyim Ahmad Umar, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa Ulumuhu, (kairo, Maktabah Gharib, tth).
Sa’ad bin Abdullah Ali Hamid, Manāhij al-Muhadditsīn, Dar Ulum al-Sunnah,  Riyad, Cet I, 1999.



[1] . Abdurrahman M., Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm 218
[2] . Hasyim Ahmad Umar, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa Ulumuhu, (kairo, Maktabah Gharib, tth) hlm 340
[3] . Abdurrahman M., Op-cit, hlm 219
[4] . Sa’ad bin Abdullah Ali Hamid, Manāhij al-Muhadditsīn, Dar Ulum al-Sunnah,  Riyad, Cet I, 1999, hlm 108-109
[5] . Abdurrahman, M., Op-cit, hlm 234
[6] . Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm115
[7] . Ibid, hlm 127-128
[8] . Ibid, hlm 111
[9] . Ibid, hlm 111-112
[10] . Ibid
[11] . Ibid, hlm 113
[12] . Abdurrahman Muhammad, Op-cit, hlm 226-227
[13] . Beliau adalah salah satu ulma yang mentahqiq Sahih Ibn Khuzaymah.
[14] . Ali Hamaid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 120
[15] . Mahamili dalam bukunya ‘Amalihi meriwayatkan hadis ini dari jalur Ali bin Zaid bin Jud’an dari Said bin al-Musayyab dari Salman, kemudian ia memberi pernyataan, bahwa dalam sanad hadis ini ada perawi yang sangat dhaif, yaitu Ali bin Zaib bin Jud’an at-Taimi al-Basri.
[16] . Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 124
[17] .Ibid, hlm 125
[18] . Ibid, hlm 126
[19] . Al-‘Azami Muhammad Mustafa, Sahīh Ibn Khuzaymah, al-Maktab, al-Islamī,Cet II 1992, hlm 19
[20] . Ali Hamid, Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm  129
[21] . Dalam hal ini Ibn Khuzaymah mengakui ada hadis dhaif yang ia cantumkan, dan ia tidak menyebutkan ‘ilatnya, dan ini bisa menyebabkan para pembaca bingung. Oleh karena itu ia berpesan kepada para penuntut ilmu agar menelitinya.
[22] . Ali Hamid, Saad bin Abdullah, Op-cit, hlm 131-140
[23] . Hal ini bisa kita lihat dalam Sahīh Ibn Khuzaymah jilid III, hlm 54-57, di sana Ibn Khuzaymah menjelaskan tentang gugurnya kewajiban shalat jum’at bagi perempuan, karena khitab dalm ayat hanya untuk laki-laki;
(( يا أيها الذين أمنواإذا نودي للصلاة من يوم الجمعة))
Dan ulama juga sepakat gugurnya kewajiaban shalat jum’at bagi perempuan. Kemudian ia kuatkan dengan beberapa hadis dengan mentarjih beberapa riwayat dan menjelaskan ‘ilatnya…  
 
[24] . Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad (lihat Sahih Ibn Khuzaymah J III, hlm 141):
(( أن منبر الرسول صلى الله عليه وسلم من أثل الغابة) قال إبن حزيمة: (( الأثل هو الطرفاء))
[25] . Penggabungan hadis-hadis yang berbicara tentang Lailah al-Qadr. (lihat Sahih Ibn Khuzaymah J III, hlm 319)
[26] . Hadis yang diriwayatkan lewat jalur Abdurrahman bin Ishaq dari Nu’man bin Sa’ad dari Ali r.a, di sana ada dua rawi yang mirip yaitu Abdurrahman bin Ishaq Abu Syaibah al-Kufi (ini dhaif) dan Abdurrahman bin Ishaq yang mendapat julukan ‘Ubbad (ini shalih). (lihat Sahih Ibn Khuzaymah, J III, hlm 306)
[27] . Perawi yang ia jarh adalah ‘Asim al-‘Anbari dan ‘Ubbad bin ‘Asim, keduanya majhul dan ini jarh bagi mereka. (lihat Sahih Ibn Khuzaymah J I, hlm 239)
[28] . Seperti Hadis Abu Ishaq dari Aswad dari ‘Aisyah, hadis ini perlu dikaju ulang, karena aku tidak melihat kalau Abu Ishaq mendengar dari Aswad, Abu Ishaq ini lah yang oleh para ulama dijarh dengan tadlis, (lihat Sahih Ibn Khuzaymah J I, hlm 212), ada juga teks hadis yang oleh sebagian perawi tidak didengar dari orang lain, seperti Abdurrahman bin Laila yang tidak pernah mendengar dari Mu’az bin Jabal dan tidak mendengar dari Abdullah bin Zaid bin Abd Raabuh…hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah selagi tidak ada pengutnya. (lihat Sahih Ibn Khuzaymah J I, hlm 200)
[29] . Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Kholid al-Hizza’ dari seorang laki-laki dari Abi al-‘Alyah dari Aisyah tetang doa dalam sujud tilawah Nabi Muhammad SAW: ((اللهم إني لك سجدت...)) perawi antara Khalid dan Abi al’Alyah tidak jelas, ini termasuk ‘ilat dalm hadis…(lihat Sahih Ibn Khuzaymah J I, hlm  283-284).Sanad yang maqlub seperti hadis yang diriwayatkan Siad bin Abi Said al-Maqbari, mereka yang meriwayatkan dari Abi Said adalah:         Daud bin Qais, Anas bin ‘Iyadh, Muhammad bin ‘Ujlan, Ibn Abi Zi’b, mereka ini ketika meriwayatkan hadis sering menggati Said bin Abi Said dengan Abi Usamah.                                                                                
[30] . Al-Farisi, Al-Amir ‘Alauddin Ali bin Balban, Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut- Libanaon, Cet II, 1996 M, hlm 5&18.
[31] . Ali Hamid Sa’d bin Abdullah, Op-cit, hlm 145-148
[32] . Ibid, hlm 148-149
[33] . Ibid, hlm 151-152
[34] . Abu Zahwu Muhammad, al-Hadīst wa  al-Muhadditsūn, Dar al-Fikr al-‘Araby, tth, hlm 425
[35] . Al-Farisi, Al-Amir Alauddin Ali bin Balban, Op-cit, hlm 10
[36] . Ali Hamid, Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 159
[37] .Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 162-163
[38] . Ibid, hlm 173-174
[39] . Ibid, hlm 160
[40] . Ibid, hlm161
[41] . Ibid, hlm 170
[42] . Yang dimaksud dengan satr al-Jamīl dalam syarat pertama yang ditetapkan Ibn Hibban adalah perawi yang tidak diketahui keadilannya dan jarhnya maka ia tergolong adil. Syarat inilah yang bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama.
[43] . Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 163-164
[44] . Ibid, hlm 167
[45] . Al-Farisy, Aal-Amir Alauddin Ali bin Balban, Jilid I, Op-cit, hlm 165-166

1 komentar:

  1. alhamdulillah... terimakasih... sngat membantu... semoga smakin bermanfa'at...

    BalasHapus