MAKALAH
KITAB SAHĪH IBN KHUZAYMAH
DAN
SAHĪH IBN HIBBĀN
A.
Pendahuluan
Hadis adalah
salah satu sumber hukum primer agama setelah Quran. Meskipun tidak ada jamainan
dari Allah SWT akan keotentikannya -beda dengan Quran yang mendapat legetimasi
dari Allah (baca Qs Al- Hijr: 9), akan tetapi sejarah mengabadikan bagaimana
usaha ulama untuk menjaga keotentikan hadis dari masa kemasa. Ini bisa kita
lihat dengan wujudnya kodifikasi hadis, displin ilmu hadis, dan pembelaaan
terhadap hadis sejak zaman sahabat sampai sekarang ini.
Usaha dan jerih
payah ulama dalam mengkodifikasikan hadis-hadis nabi Muhammad SAW, merupakan
sumabangan khazanah ke-Islaman terbersar yang bisa dinikmati oleh
generasi-genarasi berikutnya dalam upaya memahami pesan nabi Muhammad SAW sesuai
dengan apa yang beliau maksudkan.
Dari sekaian
buku hadis yang dikumpulkan dan dibukukan oleh para ulama, ada buku hadis yang
sering kita denagar sebutannya, yaitu Sahīh Ibn Khuzaymah
dan Sahīh Ibn Hibbān. Meskipun demikian, biografi
pengaranganya, informasi apa yang terkandung dalamnya, bagaimana metode
penulisannya, dan hal-hal yang berkaitan dengan dua buku hadis tersebut masih
asing ditelinga kita.
Tak jarang pengetahuan
mereka yang mendidik dibidang keagamaan tentang
kedua buku ini masih minim. Oleh karena itu, penulis akan menyuguhkan
hal-hal di atas dalam paparan makalah.
B.
Ibn Khuzaymah
1.
Biogarafi Ibn Khuzaymah
Nama lengkap Ibn Khuzaymah adalah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin
Khuzaymah bin Mughirah bin Solih bin Bakr as-Sulami an-Naisaburi. Ia lahir pada
bulan Safar 223 H=838 M di Naisabur, sebuah kota kecil di Khurasan, yang
sekarang terletak bagian timur laut Negara Iran.[1]
Sejak
kecil ia mempelajari Quran, di samping itu, ia juga sudah berkeinginan untuk
mempelajari hadis. Namun keinginan itu tertunnda, karena ayahnya meminta agar Ibn
Khuzaymah terlebih dahulu mempelajari Quran. Setelah dianggap mampu, ayahnya
memberi izin kepada Ibn Khuzaymah untuk menacari dan mempelajari Hadis Nabi
Muhammad SAW dengan Muhammad bin Hisyam
dan Ibn Qutaibah di Marwa.
Sejak
usia 16 tahun Ibn Khuzaymah berusaha untuk mencari tahu dari apa-apa yang ia
amalkan di dalam agama. Dengan demikian, ritual keagmaan yang ia lakukan tidak
hanya taqlīd. Hal ini bisa kita lihat dari pernyataan beliau; “sejak
umur 16 tahun, aku tidak pernah taqlīd lagi”.[2]
Kemampuan
intlektual ke-Islaman Ibn Khuzaymah pun kian berkembang, apa lagi setelah ia
melakukan kunjungan keberbagai daerah Islam. Di Naisabur ia belajar dengan
Muhammad bin Humaid, Ishaq bin Rahwaih, di Marwa kepada Ali bin Muhammad, di
Roy kepada Muhammad bin Maron, di Syam
kepada Musa bin Sahl al-Ramli, di Mesir
kepada Yunus bin Abd al-‘Ala’ di Baghdad kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani,
di Basrah kepada Nasr bin Ali al-Azadi al-Jahdimi, dan di mekah kepada Abu
Kuraib…[3]
Selain
itu, Ibn Khuzaymah juga banyak meriwayatkan hadis dari Ahmad bin Mani’,
Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Basyar, Bukahrai, Muslim dan lain-lain.
Demikian
juga dengan murid-murid yang pernah meriwayatkan hadis dari Ibn Khuzaymah
jumlahnya sangat banyak, di antaranya:
Yahya bin Muhammad bin Said, Abu Ali an-Naisaburi, Abu Tahir Muhammad
bin al-Fadl. Bahkan ada sebagaian guru Ibn Khuzaymah yang meriwayatkan
hadisnya, seperti Bukahri, Muslim, dan Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakam.
Hadis-hadisnya
pun banyak diriwayatkan oleh ulama terkemuka pada zamanya, di antaranya ialah
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabari, Abu Hatim, Muhammad bin
Hibban al-Busyti, Abu Bakar Muhammad bin Ismail…
2.
Pujian dan Kritik Ulama Terhadap Ibn Khuzaymah
Menurut Al-Dar Quthni: “Ibn Khuzaymah adalah imam besar yang tidak
ada tandingannya”. Meskipun ia bermadzhab Syafi’i, akan tetapi ia
bukanlah orang yang fanatik.[4]
Ibn
Hibban berkata: “Aku tidak menjumapai seorang pun di muka bumi ini yang sangat
bagus dalam menyusun kitab selain Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaymah), karena
lafadz-lafadz hadisnya terpelihara, kesahihan dan tambahan-tambahan hadisnya,
sehingga seolah-olah semua hadis ada di sana”.
As-Suyuti memberikan komentar, “bahwa Sahīh Ibn
Khuzaymah lebih tinggi dari pada Sahīh Ibn Hibbān,
karena lebih selektif, beliau berhenti pada hadis sahih dan sedikit
membicarakan isnad”.[5]
Ibn Katsir juga memberikan pujian; “Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban
komitmen dengan penulisan hadis sahih, dan ini, tentu lebih baik dari pada
kitab Mustadrak, as-Sanad dan matannya juga lebih
terjamin”.[6]
Terlepas dari berbagai penilaian dan pujian positif, hadis yang
terkandung dalam Sahīh Ibn Khuzaymah tidaklah semuanya
sahih. Karena Ibn Khuzaymah juga manusia yang tidak luput dari kesalahan…
Ibn Hajar member komentar, bahwa hadis yang diriwayatkan Ibn
Khuzaymah dari jalur Ibn al-Muthawwas dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Rasul
SAW:
(( من أفطر يوما من
رمضان في غير رخصة رخصها الله, لم يقضيه عند صوم الدهر))
adalah hadis yang di dalamnya ada ‘ilat…
Meskipun demikian, menurut Sa’ad bin
Abdullah, bahwa Ibn Hajar kurang cermat untuk melihat pernyataan Ibn Khuzaymah
dalam hadis ini. Karena Ibn Khuzaymah sendiri memberikan pernyataan bahwa, “jika
hadis ini sahih, akan tetapi saya tidak mengenal Ibn Muthawwis dan ayahnya”.[7]
3.
Karya-Karya Ibn Khuzaymah
Ibn khuzaymah wafat pada bulan Dzulqa’dah tahun 311 Hijriah.
Selama hidup ia banyak membuat karya tulis. Menurut Hakim Abu Abdullah, bahwa
karangan-karangan Ibn Khuzaymah mencapai lebih dari 140 buah. Akan tetapi dari
sekian karnyanya, hanya tiga kitab yang bisa kita temukan sekarang ini:
Pertama,
Kitāb at-Tauhīd, kitab ini
sudah dicetak beberapa-kali, terakhir dicetak dua jilid dan di tahqīq
oleh syekh Abdul Aziz Syahwan;
Kedua,
Sya’an ad-Du’a wa Tafsir al-Ad’iyah al-Ma’tsurah an Rasulillah Salla Allah
‘alaihi wa Sallam,
sampai sekarang, kitab ini masih berbentuk manuskrip yang tersimpan di
perpustakaan Al-Zāhiriyyah Damaskus;
Ketiga,
Sahīh Ibn Hibban, ini adalah
kitab yang menjadi kajian penulis pada makalah ini.[8]
4.
Mengenal Kitab Sahīh Ibn Khuzaymah
Kitab hadis karya Ibn Khuzaymah yang lebih dikenal dengan sebutan Sahīh
Ibn Khuzaymah adalah nama popelernya. Akan tetapi jika kita melihat dari
pernyataan Ibn Khuzaymah sendiri, bahwa nama kitab ini aslinya adalah Mukhtashar
al-Mukhtashar min al-Musnad al-Sahīh an an-Naby Salla Allah
‘alaihi wa Sallam.
Dari
nama kitab ini, maka jelaslah bagi kita, bahwa kitab ini adalah ringkasan dari Musnad
al-Kabīr.[9]
Hal ini terbukti dari beberapa pernyataan Ibn Khuzaymah di antarnya:
Dalam Kitāb at-Tauhīd Ibn Khuzaymah memberi isyrat dengan
perkataanya:
((خرجته بطوله في كتاب
الصدقات من كتاب الكبير))
“saya menguraikan
hadis ini dengan panjang dalam bab as-Shadaqāt dari kitab al-Kabīr”.
Dalam kitab Sahihnya, Ibn khuzaymah
menyebutkan nama kitabnya Al-Musnad al-Kabīr berulang kali, seperti
pernyataannya:
((وسأبين هذه المسئلة
بتمامها فى كتاب الصلاة فى المسند الكبير لا المختصر))
“saya akan menjelaskan secara lengkap pada bab
as-Shalāt dalam al-Musnad al-Kabīr, bukan al-Mukhtasar”.
((قد خرجت هذا الباب بتمامه فى كتاب الصلاة
من كتاب الكبير))
“saya menguraikan bab ini dengan luas dalam bab
as-Shalāt dari kitab al-kabīr”.[10]
Dari beberapa
pernyataan di atas jelaslah bagi kita, bahwa Sahīh Ibn
Khuzaymah hanyalah nama populernya saja, bukanlah nama asli dari kitab yang
dikarang oleh Ibn Khuzaymah.
Karena kitab Sahīh
Ibn Khuzaymah adalah kitab ringkasan dari kitab al-Musnad al-Kabīr,
maka kita akan menemukan hadis-hadis yang ditulis Ibn Khuzaymah tidaklah utuh,
seperti:
Dalam jilid pertama halaman 79, Ibn Khuzaymah menulis:
(( ثم أخذ بيمينه -
يعني الماء – وصكّ بها وجهه...وذكر الحديث))
Ada juga hadis yang hanya beliau sebutkan tengahnya saja, seperti hadis
Umran bin Hushain dalam perjalannanya bersama Rasul SAW, ketika Rasul dan para
sahabatnya tertidur dan meninggalkan shalat subuh;
Sahih Ibn Khuzaymah yang beredar saat ini pada mulanya merupakan manuskrip.
Dan manuskrip ini pertama ditemukan sekitar abad ke-6 atau abad ke-7 Hijriah di
sebuah toko Ahmad Tsalist di Istanbul. Al-Mubaroktuni dalam Muqaddimah
Tuhfat al-Ahwazi menyatakan, bahwa manuskrip tersebut juga ditemukan di
toko-toko buku lainnya di Eropa. Manuskrip tersebut berjumlah 311 halaman,
setiap halamannya terdiri dari 25-31 hadis.
Belum diketahui secara pasti kapan manuskrip tersebut mulai disalin
ulang dan menjadi naskah cetakan. Namun naskah yang beredar sekarang adalah
naskah Ibn Khuzaymah hasil dari suntingan (tahqiq) M.M. ‘Azami,
naskah ini pertama kali diterbitkan oleh Maktab al-Islami, Bairut pada
tahun 1390 H=1970 M. Dan pada tahun 1981, naskah ini kemudian diterbitkan oleh
penerbit yang berbeda, seperti at-Thaba’ah al-‘Arabiyyah as-Su’udiyyah
al-Mahdudah, Riyad. Pada tahun 1992 penerbit pertama mencetak ulang.[12]
Tahqiq M.M. ‘Azami ini banyak memberi kontribusi positif, sehingga mudah
bagi generasi sekarang untuk membaca Sahīh Ibn Khuzaymah,
apa lagi hadis-hadis di dalamnya diberi nomor.
Jumlah hadis yang ada dalam Sahih Ibn Khuzaymah adalah 3079. Dari sekian
hadis tersebut, tidak semuanya sahih. Hal ini juga dinyatakan oleh Muhammad
Mustafa al-‘Azami dalam muqaddimahnya:[13]
“ Sesungguhnya Sahīh Ibn Khuzaymah tidaklah seperti
Sahīh Bukharī dan Muslim.
Di dalmnya terdapat hadis sahih, hasan, dhaīf dan hadis yang sangat dhaīf.
Hal ini akan lebih jelas lagi bagi orang yang mau meneliti kitab ini. Meskipun
demikian, bandingan antara dhaīf dan sahih tidak sepadan, sehingga
seakan-akan tidak ditemukan hadis dhaīf dalam Sahīh Ibn
Khuzaymah.[14]
5. Contoh-Contoh Hadis dalam Sahīh Ibn Khuzaymah
a. Hadis dhaīf;
Adapun contoh hadis yang sangat dhaif adalah hadis tentang
keutmaan bulan Ramdan yang diriwayatkan Ibn Khuzaymah dalam kitabnya, pada bab Shiyām
dari shohabī Salman al-Farisi:
إن شهر رمضان (( أوله رحمة, وأوسطه مغفرة, و
أخره عتق من النار))[15]
b. Hadis yang tidak Ibn Khuzaymah Komentari;
(Dalam jilid III, halaman 248, hadis yang di
riwayatkan ‘Asim bin Ubaidillah, Ibn Khuzaymah berkata: ((أنا بريء من عهدة
عاصم))…)[16]
c. Hadis yang Jelas ‘Ilatnya dan Ia Riwayatkan;
(Dalam jild III, halaman 115, hadis yang diriwayatkan
lewat jalur musa bin Abi Usman dari Abu Hurairah, Ibn Hibban berkata: “Saya
luput dalam meriwayatkan hadis ini, karena hadis ini Mursal, karena Musa bin
Abi Usman tidak pernah mendengar langsung dari Abu hurairah, yang mendengar
langsung dari Abu hurairah adalah ayahnya)[17]
d. Hadis Dhaif, tapi matannya sahih…;
(seperti hadis ((أفطر الحاجم والمحجوم ((, hadis yang
diriwayatkan oleh Ibn Khuzaymah lewat jalur Tsauban, kemudian hadis ini juga
diriwayatkan ‘Uqbah lewat jalur Hasan al-Basri dari Tsauban, kemudian Ibn
Khuzaymah berkata; “Hasan tidak pernah mendengar dari Tsauban, menurut-ku hadis
Tsauban adalah hadis yang sanadnya sahih…)[18]
6. Metode Penulisan Sahīh Ibn Khuzaymah
Metode atau sistematika penulisan Sahih Ibn
Khuzaymah sebenarnya dengan metode imla’ (dekte) kepada para muridnya,
hal ini bisa kita temukan dalam beberapa pernyataan Ibn Khuzaymah, di
antaranya: dalam Kitab at-Tauhid,
Selanjutnya jika kita runut dalam
pernyataanya yang termaktub dalam kitabnya Mukhtashar al-Mukhtashar min al-Musnad al-Sahīh an
an-Naby Salla Allah ‘alaihi wa Sallam, kita akan menemukan beberapa sikap Ibn Khuzaymah dalam penulisan
kitabnya:[20]
a.
Hadisnya harus di nuqīl dari orang yang adil;
b.
Hadisnya harus muttasil sampai kepada Rasul SAW;
c.
Sanad hadisnya tidak munqati’;
d.
Para Perawi hadis tidak kena jarh;
e.
Hadis yang diriwayatkan oleh
orang yang Ibn Khuzaymah meraguinya, dan orang yang tidak ia kenal, apa lagi
tidak ada penjarhnya, maka belaiu lebih pilih diam.[21]
7.
Catatan Penting dan Faedah Sahīh Ibn Khuzaymah
Ada beberapa faedah yang membuat Sahīh Ibn Khuzaymah mendapat perhatian dari para pembacanya, di antaranya:[22]
-
Dalam setiap bab Ibn Khuzaymah meng-istinbath hukum-hukum
fikh -hal ini mirip dengan apa yang dilakukan Bukhari-, kemudian ia meng-ikutsertakan
beberapa hadis, hal inilah yang membuat Ibn Khuzaymah dijuluki ahli fikih yang
punya perhatian terhadap bahasa. Konstruk hukum yang ia keluarkan bersandar dengan
beberapa dalil yang ia ambil dari kitab itu sendiri;[23]
-
Memberi komentar (ta’līq) kepada beberapa hadis, ada kalanya
menginterprestasi lafadz yang gharīb, atau menjelaskan makna yang samar;[24]
-
Menggkomparisikan dua riwayat yang secara zahir tampak
bertentangan;[25]
-
Menyebutkan nama perawi dengan jelas, jika di dalam isnad
ditemukan perawi yang hanya dengan sebutan kunyah, julukan, atau
menyebutkan namanya saja dengan tanpa nasab;[26]
-
Menta’dil dan menjarh sebagian para perwai;[27]
-
Menolak hadis mudallas yang diriwayakan dengan sighat
‘an’anah, hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang dhaif, hadis
yang teksnya oleh sebagian perawi tidak didengar dari orang lain;[28]
-
Menjelaskan ‘ilal yang samar dalam beberapa hadis, dan sanad
yang maqlūb;[29]
C. Ibn Hibban
1. Biografi Ibn Hibban
Nama beliau adalah Muhammad bin Hibban bin
Ahmad bin Hibban bin Muaz bin Ma’bad Abu hatim at-Tamimy al-Busty as-Sijistany.
Beliau dilahirkan pada tahun 270 H=884 M di daereh Sijistan, Afganistan
(sekarang). Dan beliau wafat pada tahun 354 Hijriah.[30]
Menurut Az-Zahabi, pada awal tahun 300
Hijriah, Ibn Hibban melakukan pengayaan intlektual dengan menimba ilmu di
beberapa Negara, selain di daerah di mana ia dilahirkan, ia juga pergi menuntut
ilmu ke-Naisabur, Irak, Syam, Mesir, dan Hijaz… lewat pengembaraannya ini
-seperti yang ia sebutkan dalam muqaddimah kitabnya-, gurunya mencapai
ribuan. Akan tetapi dari sekian banyak guru, ia hanya meriwayatkan hadis lewat
jalur -+ i50 guru saja, dan menurut Ibn Hibban hanya 20 orang guru saja yang
paling dhabit dan mu’tamad. Di antaranya: Abu Ya’la al-Mausuly,
Ibn Khuzaymah, Hasan bin Sufyan, dan Abu ‘Arubah al-Harany.
Ibn Hibban adalah seorang ulama yang tidak
hanya pandai dibidang hadis, akan tetapi banyak displin ilmu lain yang ia
kuasai, seperti fikih, kalam, kedokteran, dan ilmu falak.
Keahliaanya dibidang fikih bisa kita lihat
dalam pertentangannya dengan pendapat Abu Hanifah pada waktu itu, ketidak
setujuaanya ini ia tuangkan dalam sebuah karya yang setebal 10 jilid…[31]
Keahlianya dibidang kalam bisa kita lihat beberapa pemahaman Ibn Hibban
terhadap hadis Rasul SAW, di antaranya adalah hadis nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
((يتقارب الزمان و ينقص العلم))
Menurut Ibn Hibban, “lewat hadis ini Rasul SAW memberi kabar bahwa pada akhir
zaman nanti ilmu akan berkurang, saya melihat pada dasarnya semua ilmu akan
berkembang kecuali pada displin ilmu satu ini -yang beliau maksud adalah ilmu
hadis dan sunan-, setiap harinya ia berkurang. Ilmu yang Nabi jadikan khitab
kepada umatnya setiap harinya berkurang dengan berkurangnya orang yang
mengetahu sunan, jalan satu-satunya untuk mengetahui sunan adalah mengetahui
para perawi dhaif dan yang ditinggalkan”.[32]
Keahliannya dibidang ilmu kalam tidak selalu berhujung manis, bahkan
atas pengaruh ilmu kalamnya ia hampir saja terbunuh, karena gagasannya membuat
bingung umat. Cobaaan ini adalah imbas dari pernyataan Ibn Hibban “Kenabian dengan ilmu dan Amal”. Gagasan ini lah yang
membuat banyak orang yang memberi cap zindiq kepada Ibn Hibban. Tidak
cukup itu saja, ia juga diusir dari Sijistan dan dilaporkan kepada Khalifah.
Akhirnya Khalifah memutuskan untuk membunuhnya, akan tetapi Ibn Hibban lari dan
bersembunyi.[33]
2. Pujian Ulama terhadap Ibn Hibban
Menurut al-Hakim, Ibn Hibban adalah orang
yang peduli terhadap ilmu, fikih, hadis, bahasa, dan nasehat, ia juga termasuk
orang-orang yang cerdas.
Menurut Khatib al-Baghdadi, Ibn Hibban
adalah orang baik dan terpercaya, karyanya juga banyak…[34]
Ibn ‘Asir berkomentar, Ibn Hibban adalah
imam pada masanya, jumlah karyanya tidak tertandingi.[35]
3. Karya-Karya Ibn Hibban
Ibn Hibban adalah salah satu ulama yang
sangat produktif, sehingga banyak sekali peninggalan-peninggalan karyanya yang
bisa dimanfatkan oleh generasi-genarasi berikutnya.
Meskipun demikian, tidak semua karyanya
bisa kita temukan. Karya Ibn Hibban yang tidak bisa kita jumpai saat ini
adalah: ‘Ilal Auhām al-Muarrikhīn (kitab ini terdiri atas 10 juz), ‘Ilal
hadīst az-Zuhrī (20 jilid), ‘Ilal Hadīst Mālik (10 Juz), Wasf
al-Ulum wa ‘Anwā’uhā (30 juz)….
Peninggaln Ibn Hibban yang masih dapat kita
jumpai adalah: Kitāb as-Tsiqāt, Kitāb al-Majruhīn min ad-Dhuafā’ wa
al-Matrukīn min ar-Ruwwāt. Kedua kitab ini adalah ringkasan dari Kitāb
at-Tārikh karya Ibn Hibban juga, Kitāb Masyāhīr al-Ulamā’ al-Amshār,
Raudhah al-Uqalā’ wa Nuzhah al-Fudhalā’, dan Sahīh Ibn
Hibbān.[36]
4. Mengenal Sahīh Ibn Hibbān
Kitab ini populer dengan sebutan Sahīh
Ibn Hibbān, padahal jika kita observasi lebih jauh, nama asli kitab ini
adalah Al-Musnad as-Sahīh ‘ala at-Taqāsim wa al-‘Anwā’ min Ghair Wujud Qat’
fī Sanadihā wa la Tsubut Jarh fī Nāqilihā.
Kata Taqāsim dan ‘Anwa’
mempunyai maksud tersendiri -mirip dengan metode atau sistematika penulisan-, yang di maksud Taqāsim adalah bagian
lima:
Pertama, Perintah-perintah yang Allah wajibkan
terhadap hamba-Nya;
Kedua, Larangan-larangan yang Allah haramkan
bagi hamba-Nya;
Ketiga, Kabar-kabar dari Allah SWT yang wajib
diketahui;
Keempat, Ibahah yang Allah perbolehkan
untuk hamba-Nya;
Kelima, Perbuatan Nabi Muhammad SAW yang ia
lakukan sendiri, tidak untuk umat.
Sahīh
Ibn Hibbān tidak lepas dari lima bagian ini, setiap bagian mempunyai aneka ragam
bentuk (bab) di dalamnya, misalnya dalam “Perintah-perintah yang Allah wajibkan
terhadap hamba-Nya” ada 110 bab, dan setiap bab memuat beberapa hadis. Begitu
juga pada bagian kedua.
Bagian
ketiga memuat 80 bab, bagian keemapat dan kelima memuat 50 bab, jumlah
seluruhnya 400 bab.[37]
Dalam hal
dua riwayat tsiqah yang bertentangan, satunya marfu’ dan
satunyalgi mauquf, atau satunya mausul dan satunya mursal, Ibn
Hibban menggunakan metode untuk menerima yang marfu’ dan mausul
dengan tidak menjelaskan ‘ilat yang lainya, karena kedua-duanya tsiqah.[38]
Latar belakang penulisan buku ini tertera
dalam muqaddimah Sahīh Ibn Hibbān, yaitu, Ibn
Hibban melihat banyak manusia yang berpaling dari Sihah as-Sunnah, banyak
sekali hal-hal aneh dan lemah masuk di dalam hadis. Atas dasar cinta Ibn Hibban
terhadap sunah Rasul SAW kemudian ia mengarang kitab Sahīh Ibn
Hibbān ini. Kecintaanya tidak hanya terwujud dalam bentuk karnya saja, akan
tetapi ia memberikan pernyataan; “Hendaklah manusia menghafal Sunan dan
berpegang teguh dengan metode yang benar seperti yang telah dilakukan oleh
ulama klasik.[39]
Ibn
Hibban memberikan wejangan atas sulitnya bahasa yang ia gunakan, untuk dapat
memahami Sahīh Ibn Hibbān hendaklah didekati dengan dua
hal ini:[40]
Pertama, membaca kitab ini darai awal sampai
akhir, hal demikian ini akan memudahkan pembaca menemukan ha-hal yang sulit…
Kedua, menghafal kitab ini, jika hafal, maka
akan mudah baginya untuk mendatangkan hadis yang ia inginkan.
5. Peran Al-Amir Alauddin Ali Al-Farisy dalam Penyusunan Sahīh
Ibn Hibbān
Al-Farisy adalah orang yang menyusun Sahīh
Ibn Hibbān sehingga menjadi kitab yang sistematis, diberi nomer, bab
fikihnya berurutan… Usaha Al-Farisy ini menjadikan kitab yang popeler dihadapan
kita dengan sebutan Al-Ihsān
bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān. Meskipun demikian, Al-Farisi tidak
melupakan hal-hal penting yang sudah ditetapkan oleh Ibn Hibban, seperti istinbath
fikih-nya dan komentar-nya terhadap beberapa hadis.[41]
6. Syarat-Syarat Perawi Versi Ibn Hibban
Ada lima syarat perawi yang ditetapkan Ibn Hibban
dalam kitab sahihnya:
Pertama, adil dalam agama dengan satr al-Jamīl[42];
Kedua, Jujur di dalam hadis dengan kemasyhurannya;
Ketiga, Hadis yang diceritakan bisa dimengerti oleh perawi;
Keempat, Mengrtahui kesulitan makna hadis yang diriwayatkan;
Kelima, Hadisnya bebas dari tadlīs.
Jika ke-lima hal ini ada pada perawi, maka
hadisnya bisa dijadikan hujjah, tapi jika tidak, maka hadisnya ditolak.[43]
Meskipun syarat-syarat yang ditetapkan Ibn
Hibban sangatlah ketat, pada beberapa hal justru Ibn Hibban melanggar
syarat-syarat yang beliau tetapkan. Dalam ke-tsiqahan ia lebih cendrung
member dispensasi, dalam jarh ia sangat ketat, sehingga Muhammad bin
Fadl as-Sudusi yang dijuluki ‘Ārim dan terkenal ke-tsiqahannya malah ia jarh
dengan sesuatu yang tidak pantas.[44]
7. Contoh Hadis dalam Sahīh Ibn Hibbān
-
Larangan kepada seseorang untuk beranggapan
bahwa dia tidak butuh dengan apa yang ada dalam Quran.
(120) أخبرنا محمد بن
الحسن بن قتيبة, قال: حدثنا يزيد بن موهب, قال: حدثنا الليث, عن أبي ملكية, عن
عبيد الله بن أبي نهيك.
عن سعد بن أبي وقاص, عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم, قال: ((ليس منا من لم يتغنّ بالقرأن)).
قال أبو حاتم: معنى قوله صلى الله عليه وسلم:
((ليس منا)) فى هذه الأخبار يريد به: ليس مثلنا فى استعمال هذا الفعل, لأنا
لانفعله, فمن فعل ذلك ليس مثلنا.[45]
D. Penutup
Khazanah ke-Islaman sekaligus penjaggan terhadap peninggalan Nabi
Muhammad SAW, ternyata tidak ada hentinya.
Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban adalah bagian dari deretan ulama yang
sangat peduli dengan hadis-hadis nabi Muhammad SAW, hal in terbukti dengan peningalan
karya-karya mereka yang sampai saat ini masih bisa dinikmati oleh
generasi-generasi berikutnya.
Meskipun demikian, sistematika karya mereka yang kita temukan dan mudah
untuk kita dekati, tentu setelah melalu proses penyempuranan dengan beberapa ta’līq,
tahqīq, penomeran hadis, dan penyusunan bab dari mereka yang sangat
perhatian terhadap peninggalan karya-karya ulama besar.
Tanpa perhatian mereka, tentu sukar bagi kita untuk menemukan
manuskrip-manuskrip kuno peninggalan Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban.
Oleh karena itu, bagaimana kita berusaha untuk mengenal lebih jauh
tentang Sahīh Ibn Khuzaymah dan Sahīh Ibn
Hibbān serta apa yang termaktub di dalamnya, agar karya-karya besar seperti
ini bisa lebih bermanfaat bagi kita khususnya dan umumnya bagi masyarakat.
Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman M., Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003)
Abu
Zahwu Muhammad, al-Hadīst wa al-Muhadditsūn, Dar al-Fikr al-‘Araby, tth.
Al-‘Azami
Muhammad Mustafa, Sahīh Ibn Khuzaymah, al-Maktab, al-Islamī, Cet II 1992.
Al-Farisi,
Al-Amir ‘Alauddin Ali bin Balban, Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān, Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, Bairut- Libanaon, Cet II, 1996 M.
Hasyim
Ahmad Umar, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa Ulumuhu, (kairo, Maktabah Gharib,
tth).
Sa’ad
bin Abdullah Ali Hamid, Manāhij al-Muhadditsīn, Dar Ulum al-Sunnah,
Riyad, Cet I, 1999.
[1] . Abdurrahman M., Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras,
2003), hlm 218
[2] . Hasyim Ahmad Umar, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa Ulumuhu,
(kairo, Maktabah Gharib, tth) hlm 340
[3] . Abdurrahman M., Op-cit, hlm 219
[4] . Sa’ad bin Abdullah Ali Hamid, Manāhij al-Muhadditsīn, Dar Ulum al-Sunnah, Riyad, Cet I, 1999, hlm 108-109
[5] . Abdurrahman, M., Op-cit, hlm 234
[6] . Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm115
[7] . Ibid, hlm 127-128
[8] . Ibid, hlm 111
[9] . Ibid, hlm 111-112
[10] . Ibid
[11] . Ibid, hlm 113
[12] . Abdurrahman Muhammad, Op-cit, hlm 226-227
[13] . Beliau adalah salah satu ulma yang mentahqiq Sahih Ibn
Khuzaymah.
[14] . Ali Hamaid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 120
[15] . Mahamili
dalam bukunya ‘Amalihi meriwayatkan hadis ini dari jalur Ali bin Zaid
bin Jud’an dari Said bin al-Musayyab dari Salman, kemudian ia memberi
pernyataan, bahwa dalam sanad hadis ini ada perawi yang sangat dhaif,
yaitu Ali bin Zaib bin Jud’an at-Taimi al-Basri.
[16] . Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 124
[17] .Ibid, hlm 125
[18] . Ibid, hlm 126
[20] . Ali Hamid, Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 129
[21] . Dalam hal ini Ibn Khuzaymah mengakui ada hadis dhaif yang
ia cantumkan, dan ia tidak menyebutkan ‘ilatnya, dan ini bisa
menyebabkan para pembaca bingung. Oleh karena itu ia berpesan kepada para
penuntut ilmu agar menelitinya.
[22] . Ali Hamid, Saad bin Abdullah, Op-cit, hlm 131-140
[23] . Hal ini bisa kita lihat dalam Sahīh Ibn Khuzaymah jilid III, hlm 54-57, di sana Ibn Khuzaymah menjelaskan tentang
gugurnya kewajiban shalat jum’at bagi perempuan, karena khitab dalm ayat hanya
untuk laki-laki;
(( يا أيها الذين أمنواإذا نودي للصلاة من يوم
الجمعة))
Dan ulama juga sepakat gugurnya kewajiaban
shalat jum’at bagi perempuan. Kemudian ia kuatkan dengan beberapa hadis dengan
mentarjih beberapa riwayat dan menjelaskan ‘ilatnya…
[24] . Seperti
hadis yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’ad (lihat Sahih Ibn Khuzaymah J
III, hlm 141):
((
أن منبر الرسول صلى الله عليه وسلم من أثل الغابة) قال إبن حزيمة: (( الأثل هو
الطرفاء))
[25] . Penggabungan hadis-hadis yang berbicara tentang Lailah al-Qadr.
(lihat Sahih Ibn Khuzaymah J III, hlm 319)
[26] . Hadis yang diriwayatkan lewat jalur Abdurrahman bin Ishaq dari
Nu’man bin Sa’ad dari Ali r.a, di sana ada dua rawi yang mirip yaitu
Abdurrahman bin Ishaq Abu Syaibah al-Kufi (ini dhaif) dan Abdurrahman
bin Ishaq yang mendapat julukan ‘Ubbad (ini shalih). (lihat Sahih Ibn
Khuzaymah, J III, hlm 306)
[27] . Perawi yang ia jarh adalah ‘Asim al-‘Anbari dan ‘Ubbad bin
‘Asim, keduanya majhul dan ini jarh bagi mereka. (lihat Sahih
Ibn Khuzaymah J I, hlm 239)
[28] . Seperti Hadis Abu Ishaq dari Aswad dari ‘Aisyah, hadis ini perlu
dikaju ulang, karena aku tidak melihat kalau Abu Ishaq mendengar dari Aswad,
Abu Ishaq ini lah yang oleh para ulama dijarh dengan tadlis, (lihat Sahih
Ibn Khuzaymah J I, hlm 212), ada juga teks hadis yang oleh sebagian perawi
tidak didengar dari orang lain, seperti Abdurrahman bin Laila yang tidak pernah
mendengar dari Mu’az bin Jabal dan tidak mendengar dari Abdullah bin Zaid bin
Abd Raabuh…hadis ini tidak bisa dijadikan hujjah selagi tidak ada pengutnya.
(lihat Sahih Ibn Khuzaymah J I, hlm 200)
[29] . Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Kholid al-Hizza’ dari
seorang laki-laki dari Abi al-‘Alyah dari Aisyah tetang doa dalam sujud tilawah
Nabi Muhammad SAW: ((اللهم إني لك سجدت...)) perawi antara
Khalid dan Abi al’Alyah tidak jelas, ini termasuk ‘ilat dalm
hadis…(lihat Sahih Ibn Khuzaymah J I, hlm
283-284).Sanad yang maqlub seperti hadis yang diriwayatkan Siad bin Abi
Said al-Maqbari, mereka yang meriwayatkan dari Abi Said adalah:
Daud bin Qais, Anas bin ‘Iyadh, Muhammad bin ‘Ujlan, Ibn Abi Zi’b, mereka ini
ketika meriwayatkan hadis sering menggati Said bin Abi Said dengan Abi Usamah.
[30] . Al-Farisi, Al-Amir ‘Alauddin Ali bin Balban, Al-Ihsān bi Tartīb Sahīh Ibn Hibbān, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut-
Libanaon, Cet II, 1996 M, hlm 5&18.
[31] . Ali Hamid Sa’d bin Abdullah, Op-cit, hlm 145-148
[32] . Ibid, hlm 148-149
[33] . Ibid, hlm 151-152
[35] . Al-Farisi, Al-Amir Alauddin Ali bin Balban, Op-cit, hlm 10
[36] . Ali Hamid, Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 159
[37] .Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 162-163
[38] . Ibid, hlm 173-174
[39] . Ibid, hlm 160
[40] . Ibid, hlm161
[41] . Ibid, hlm 170
[42] . Yang dimaksud dengan satr al-Jamīl dalam syarat pertama yang ditetapkan
Ibn Hibban adalah perawi yang tidak diketahui keadilannya dan jarhnya
maka ia tergolong adil. Syarat inilah yang bertentangan dengan pendapat
mayoritas ulama.
[43] . Ali Hamid Sa’ad bin Abdullah, Op-cit, hlm 163-164
[44] . Ibid, hlm 167
[45] . Al-Farisy, Aal-Amir Alauddin Ali bin Balban, Jilid I, Op-cit,
hlm 165-166
alhamdulillah... terimakasih... sngat membantu... semoga smakin bermanfa'at...
BalasHapus