Senin, 16 April 2012

EPISTEMOLOGI


EPISTEMOLOGI

A.    Pendahuluan
Epistemologi merupakan salah satu materi pokok dalam kajian filsafat ilmu.filsafat sangat besar manfaatnya terutama bagi para pecinta ilmu dan kebenaran. Karena salah satu tujuan dari filasafat adalah untuk merubah pengetahuan menjadi ide (gagasan). Ide merupakan suatu yang bisa dilakukan dalam merespons fenomenologis yang muncul dalam kehidupan. Ide yang bagus dan cemerlang akan lebih bermakna kalau meningkat menjadi sebuat sistem. Sistem adalah rangkaian relasi-relasi yang saling keterkaitan atau yang memiliki hubungan dan akan melahirkan sistem yang baru. Tindak lanjut dari sistem adalah terwujudnya maping (konstruksi) atau pemetaan terhadap suatu masalah. Untuk terwujudnya tujuan filsafat disinilah perlunya peran dari ontologi (Hakikat Maujudat), epistemologi (Teori keilmuan, bagaimana mendapatkannya), dan aksiologi (sistem nilai, untuk apa digunakan).
Epistemologi membicarakan segala sesuatu tentang pengetahuan. Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya, apa sumbernya? Untuk  apa pengetahuan itu? Apa gunanya? Betapa nilainya? Bagaimana membentuk pengetahuan yang tepat dan bagaimana pula membentuk pengetahuan yang benar? Apa itu kebenaran? Apa yang dapat diketahui manura pecinta ilsia dan sampai di mana macamnya?
Karena pentingnya epistemologi dalam filsafat, maka wajiblah bagi seorang yang ingin menekuni bidang filsafat untuk mempelajari pembahasan ini.
B.     Definisi Pengetahuan, Macam-Macam Pengetahuan, dan Perbedaan Antara Pengetahuan dan Ilmu.
Sebelum kita membahas tentang teori pengetahuan hendaklah kita mengetahui definisi dari pengetahuan tersebut, disamping itu kita juga harus mengetahui jenis-jenis pengetahuan serta perbedaan antara pengetahuaan dan ilmu.  Penulis akan menjabarkan hal tersebut sebagai berikut:
1.      Definisi Pengetahuaan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari bahasa inggris yang mana artinnya adalah kepercayaan yang benar.[1] Sementara secara terminology, pengetahuan mempunyai banyak pengertian.  Menurut Drs. Sidi Gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu, sementara hasil pekerjaan tahu tersebut merupakan hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Maka pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[2] Sementara dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
2.      Macam-Macam Pengetahuan
Burhanuddin Salam, mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat macam, yaitu:
a.       Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang dikenal dalam filsafat dengan istilah common sense, serta sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana dia menerimannya secara baik. Seperti seseorang melihat sesuatu itu merah karena memang itu merah, atau merasakan suatu benda panas karena memang dirasakan panas dan lain-lain. Melalui common sense, setiap orang bisa sampai kepada keyakinan secara umum terhadap sesuatu, yang mana mereka akan berpendapat sama tentang hal tersebut. Pengetahuan ini (common sense) dapat diketahui melalui pengalaman sehari-hari, sebagai contoh seperti air dapat menghilangkan rasa haus, musim hujan dapat menyebabkan banjir, belajar dengan sungguh-sungguh dapat memberikan hasil yang baik, dan lain-lain.[3]
b.       Pengetahuan ilmu, maksudnya adalah ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit ilmu science dapat diartikan untuk menunjukan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif. Ilmu pada dasarnya bertujuan untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense yaitu suatu pemgetahuan yang didapat melalui pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi dilanjutkan dengan suatu pemikiran yang cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai macam metode. Pada dasarnya pengetahuan yang diperoleh melalui ilmu biasanya dapat dicapai melalui observasi, eksperimen, klasifikasi.  Analisis ilmu itu bersifat objektif, pemikiran logika diutamakan netral tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat subjektif. Ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif.[4]
c.        Pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menitik beratkan pada kedalaman kajian tentang sesuatu. Berbeda dengan ilmu yang mana hanya berpegang pada satu bidang pengetahuan yang sempit. sementara filsafat membahas hal yang lebih luas dan rinci. Pengetahuan biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan sempit, sehingga ilmu yang tadinya sempit, kaku serta cenderung tertutup berubah menjadi luas dan longgar.[5]
d.      Pengetahuan agama, yaitu pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan melalui perantara Rasul. Pengetahuan ini bersifat mutlak yang mana harus dimiliki oleh setiap individual manusia. Pengetahuan ini mengajarjan hubungan manusia dengan Tuhan yang mana sering kita kenal dengan hablu minallah, sementara itu pengetahuan agama juga mengajarkan hubungan manusia antara sesama manusia atau hablu minannas. Disamping memberikan pengatahuan tentang Tuhan, pengetahuan ini juga memberikan pengetahuan tentang hari kiamat, yang mana pengetahuan ini memberikan manusia doktrin untuk selalu optimis dengan masa depannya. Pengaetahuan agama masih hidup pada saat ini serta masih dibutuhkan oleh penganutnya,  hal ini disebabkan karena adanya doktrin tentang kehidupan setelah mati, sehingga memberikan motivasi kepada penganutnya untuk selalu berbuat untuk akhirat.[6]
3.      Perbedaan Antara Pengetahuan dan Ilmu
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu memiliki makna yang sama dengan pengetahuan, dia merupakan sinonim dari kata pengetahuan akan tetapi berbeda dalam arti material.  Untuk membedakan antara pengetahuan dan ilmu, mungkin kita bisa melihat definisi dari pengetahuan dan ilmu. Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami objek tertentu yang mana dapat di peroleh melalui metode deduksi, induksi, dan analisi. Sementara ilmu sebagaimana yang dikutip oleh The Liang Gie dari Paul Fredomm dalam buku “The Principles of Scientific Research” mempunyai definisi sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam  di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.[7]
Sementara menurut Carles Siregar ”Ilmu adalah proses untuk membuat pengatahuan” Dalam makna umum, ilmu sering kali dijadikan pembeda, seperti membedakan disiplin Ilmu Pengatahuan Alam (IPA) dengan Ilmu Pengatahuan Sosial (IPS), sementara menurut Jujun ilmu merupakan produk yang siap dikonsumsi. Disamping itu ilmu berbeda dengan pengetahuan dari segi sistematis dan cara memperolehnya.
C.    Definisi Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Teori pengetahuan dalam istilah filsafat kita kenal dengan nama Epistemologi. Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan ‘logos’ yang juga berarti pengetahuan. Jadi, epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan yang sering disebut dengan istilah teori pengatahuan (theory knowledge).[8]
Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq menyatakan bahwa epistemologi mempunyai makna yang luas serta mempunyai makna yang sempit. Adapun epistemologi dalam artian luas adalah ilmu yang membahas semua permasalahan filsafat yang berhubungan dengan pengetahuan seperti: ilmu mantiq, ilmu psikologi, ilmu sosial, ilmu sejarah serta ilmu metafisika.
Adapun makna sempit untuk epistemologi adalah ilmu yang mempelajari eksistensi pengetahuan, dasar-dasar pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, syarat-syarat pengetahuan, dan lain-lain.[9] Persoalan pokok yang dibahas dalam epistemologi adalah berkenaan dengan persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu mempunyai objek, metode, sistem, dan tingkatan kebenaran yang berbeda-beda. Segala macam perbedaan itu, berkembang dari perbedaan yang tajam tentang sudut pandang dan metode yang bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Cara pandang dan metode mana yang lebih dapat dipercaya itu tergantung kepada jenis dan sifat objek studi. Imperisme identik dengan teori korespondensi sementara rasionalisme lebih mengacu kepada teori koherensi dalam mencari kebenaran.
Dalam kata lain, epistemologi merupakan suatu bidang filsafat yang membahas tentang hakikat kebenaran, karena semua pengetahuan selalu mempermasalahkan tentang kebenaran, disamping itu epistemologi juga membahas tentang kemungkinan pengetahuan ( Imkanul Ma’rifah ), tabiatul Ma’rifah, serta sumber-sumber pengetahuan. Untuk memulai pembahasan ini penulis mencoba untuk membicarakan tentang persoalan yang menjadi fundamental dalam epistemologi :
1.    Asal Usul Atau Sumber Pengetahuan
Berbeda sudut pandang filosof tentang asal usul serta sember pengatahuan, yang mana perbedaan tersebut bisa kita lihat dari uraian dibawah ini:
a.      Rasionalisme
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapatkan oleh akal.[10]
Rasionalisme kebanyakan dihubungkan secara erat dengan filosof abad ke-18-19, seperti Descarters, Lebiniz, dan Spinoza. Rasionalisme percaya bahwasanya untuk mencapai suatu pengetahuan, manusia cukup bersandarkan kepada sumber daya logika dan intelektual. Penalaran demikian tidak berlandasan pada data pengalaman, tetapi diolah dari kebenaran dasar yang tidak menuntut untuk menjadi dan mendasarkan diri pada pengalaman. Penalaran dan prinsipnya mulai dengan apa yang disebut a priori (sebagai prioritas), sebab penalaran demikian mendahului pengalaman. Satu contoh tentang proposisi apriori 1 + 1 = 2. Kita tahu ia benar hanya dengan memikirkan hasilnya penjumlahan tersebut. Kita tidak perlu melihat dan mencari apakah dunia nyata menyediakan petunjuk untuk atau membenarkan penjumlahan tersebut.[11]
Anekdot kaum rasionalis sebagai “ Filosof yang mengawang-awang” tidak seluruhnya salah, karena pendekatan mereka tentang realitas bisa ditemukan hanya dengan berpikir tanpa kebutuhan untuk berangkat dari dan menguji dunia. Rasionalisme bisa memunculkan sedikit bintik pada pikiran modern, yang digunakan untuk ide bahwa pengetahuan yang menekankan diri pada percobaan dan pengamatan, adalah penting untuk pengetahuan selanjutnya. Bagaimanapun juga ia bisa muncul agak sedikit aneh jika seseorang membebaskan diri dari kekeliruan umum tentang rasionalisme hal ini disebabkan oleh 2 hal :
1.      Kaum rasionalis tidak akan mengatakan bahwa seseorang bisa berpikir tanpa memiliki sejumlah pengalaman apapun. Kita butuh belajar bahasa dan dididik dengan benar jika kita ingin meraih kesempatan sukses dalam filsafat. Pokok masalahnya bukanlah para filosof tidak perlu memiliki seluruh pengalaman tentang dunia luar. Agaknya suatu saat mereka perlu dilengkapi dengan keahlian berpikir  yang baik, bahasa, dan pemahaman tentang sesuatu, seperti matematika dan geometri, mereka bisa meneruskan proses berpikir tanpa merujuk lebih jauh ke dalam pengalaman. Penalaran sebagai a priori yang demikian itu mulai dari prinsip utama ketimbang bukti pengalaman.
2.      Kaum rasionalis tidak mengatakan bahwa seseorang bisa menemukan fakta-fakta khusus tentang dunia tanpa perlu masuk ke dalamnya. Tak seorang pun bisa tahu berapa jarak antara Padang dan Bukit Tinggi, misalnya, tanpa merujuk ke bukti pengalaman.Tetapi ketika ia menghadapi pengetahuan tentang segi realitas yang paling dasar, ajakan untuk mengalami tidaklah dibutuhkan. Untuk mengetahui jam berapa sekarang, misalnya, saya membutuhkan sebuah jam. Tetapi untuk memahami sifat waktu itu sendiri, saya hanya perlu berpikir hati-hati tentang konsep waktu.[12]
Ada ciri-ciri penting lainnya dari rasionalime yang perlu ditonjolkan yaitu sebagai berikut[13] :
1.     Ia mengambil pemikiran rasionalitas deduktif sebagai modelnya. Bisa dikatakan, seseorang mengajukan argumentasi dalam langkah yang singkat, hanya menerima kesimpulan yang secara tegas mengikuti premis.
2.     Rasionalisme bersandarkan  pada asumsi bahwa hanya satu konsepsi realitas yang bisa konsisten dengan penemuan rasio. Hanya satu jawaban yang benar untuk beberapa penjumlahan yang diberikan dalam aritmetika, jadi kaum rasionalis percaya jika anda berpikir sewajarnya, hanya ada satu catatan raelitas yang cocok dengan deduksi alasan.
Asumsi terakhir  rasionalisme datang dari serangan yang tak terpikirkan. Kebanyakan filosof sekarang ini percaya bahwa ada banyak catatan realitas pokok yang seluruhnya konsisten secara logis. Untuk memutuskan sesuatu benar, bagaimana pun juga, kita perlu menarik lebih banyak lagi alasan. Kita juga perlu menarik bukti-bukti pengalaman.
b.      Empirisme
Aliran ini berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang bathiniah maupun yang lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.[14]
Para filosof empirisme seperti John Locke, Berkele, dan David Hume mereka menolak pikiran bahwa rasio sendiri memiliki kekuatan untuk memahami realitas. Malahan, mereka memberikan peran utama dalam pengetahuan kepada pengalaman. John Locke merupakan orang yang pertama sekali menolak serta menyerang kelompok rasionalisme. Dengan menunjukkan bagaimana kita sangat bergantung kepada pengalaman demi mencapai pengetahuan kita, ia menantang pandangan kaum rasionalis yang menyatakan bahwa pengalaman bisa dikesampingkan ketika kita berfikir secara filosofis atau benar.  Menurut David Hume, pikiran yang deduktif yang menurut kaum rasionalis dinilai sebagai rute untuk semua pengetahuan, sebenarnya merupakan instrumen yang sangat terbatas. Matematika, logika, geometri, semuanya bergantung pada argumentasi deduktif. Akan tetapi pengetahuan mengenai dunia menuntut bentuk penalaran yang berbeda, yang kini kita kenal sebagai induksi.
Untuk melihat perbedaan antara pikiran deduktif dengan pikiran induktif, maka pertimbangkanlah argumentasi deduktif dibawah ini:
Setiap mahasiswa IAIN muslim.
Andi salah seorang mahasiswa IAIN.
Andi adalah seorang muslim.
Dalam argumentasi deduktif ini, kesimpulan mengikuti premis. Jika setiap mahasiswa IAIN muslim dan Andi adalah seorang mahasiswa IAIN, maka Andi pastilah seorang muslim. Sekarang lihatlah serta pikirkanlah argumen induktif dibawah ini:
Tidak pernah satu tahun pun tanpa hujan di Inggris.
Maka, akan turun hujan tahun depan di Inggris.
Argumen ini sangat berbeda dengan argumen deduktif. Kita mungkin berfikir bahwa premis menyediakan sebuah alasan yang baik untuk bisa menerima kesimpulan, akan tetapi tidak perlu mengikuti bahwa jika hujan turun tiap tahun di Inggris, maka akan turun hujan terus pada tahun yang akan datang. Kemungkinannya, betapa pun kecilnya, tetap terbuka tahun depan tidak akan turun hujan di Inggris. Dalam argumentasi induktif seperti itu kita bersandarkan pada sesuatu yang lain ketimbang pada pikiran yang deduktif yang murni untuk mencapai kesimpulan kita. Inilah yang disebut oleh David Hume sebagai keaneka ragaman, kebiasaan, dan pengalaman.[15]
Kelemahan utama empirisme adalah akan banyak kebenaran  dan prinsip pemikiran yang secara mutlak menjadi dasar bagi penalaran yang tepat tidak dibenarkan dan didasarkan pada fakta pengalaman. Sebagai contoh aturan dasar logika, bukanlah fakta-fakta didunia nyata yang dinilai supaya benar atau salah. Kaum emperisme perlu menjelaskan mengapa mereka diizinkan untuk menolong diri mereka sendiri demi sarana intelektual ini ketika di saat yang sama bertahan pendapat bahwa pengalaman menyediakan dasar bagi seluruh pengetahuan.[16]
c.       Foundalisme
Disamping maraknya perdebatan antara rasionalis dan empiris mengenai asal-usul pengetahuan, maka ada kebanyakan dari mereka yang berkomitmen yang kadang-kadang disebut foundalisme. Pikiran dasar yang melandasi foundalisme adalah sederhana. Epistemologi menurut mereka adalah tentang menjawab pertanyaan apa dan bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu. Alamiahnya dengan mengusahakan dan menjawabnya dengan  mengidensifikasikan apa yang menjadi dasar pengetahuan kita. Jika kita bisa melakukan ini dan menunjukkan bahwa pondasi ini terjamin, maka kita akan bisa membangun pengetahuan kita secara meyakinkan.
Teori yang digunakan oleh rasionalis dan empiris untuk mengetahui segala sesuatu sangatlah berbeda dengan apa yang dibawa oleh kelompok foundalisme. Kalau seandainya rasionalisme menjadikan akal, intelektual dan pikiran yang benar merupakan dasar untuk mengetahui sebuah kebenaran (pengetahuan),  sementara kaum empiris menjadikan pengalaman sebagai dasar untuk menentukan suatu kebenaran (pengetahuan). Sedangkan kaum foundalisme berfikiran bahwa untuk mengetahuai suatu pengetahuan maka hendaklah kita mencari apa yang menjadi dasar pengetahuan kita. Menurut kaum fondalisme, untuk mengetahui suatu pengetahuaan, maka hendaklah dibangun dengan dasar yang kuat, seperti kita membangun sebuah  tembok tentulah kita membutuhkan dasar yang kuat supaya tembok tersebut juga kuat.[17]
d.      Intuisi dan Wahyu
Cara lain yang dapat menjadi sumber pengatahuan adalah intuisi dan wahyu. Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.[18]
Sementara wahyu adalah pengetahuan yang didapat manusia melalui ”pemberian” Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang terpilih yang disebut dengan Nabi dan Rasul. Agama merupakan kata kunci dari wahyu. Ia memberi tahu kehidupan manusia pada saat ini serta apa yang akan dihadapinya pada masa yang akan datang setelah ia meninggalkan dunia ini. Menurut C.A. Qadir, pengakuan kaum filosof Barat terhadap eksistensi intuisi dan wahyu sebagai sumber pengetahuan baru terjadi pada akhir abad 20, setelah produk rasionalis dan empiris melahirkan produk sekularisme yang mekanistik mengenai realitas, serta ketika tidak ada tempat lagi bagi ruh atau nilai dalam pengetahuan manusia.[19]
2.    Metode-Metode Dalam Teori Pengetahuan
Pada dasanya pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, adapun metode tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Metode Induktif
Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam bentuk pernyataan yang lebih umum.[20] Mayoritas keilmuan yang bersifat empiris biasanya diperoleh melalui metode induktif. Dalam metode induktif, setelah diperoleh pengetahuan maka, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kepada kita bahwasanya kalau logam dipanaskan pasti ia akan mengembang, beranjak dari teori ini kita bisa mengetahui bahwa logam yang lain pun apabila dipanaskan juga akan mengembang.[21]
2.     Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut.[22] Hal-hal yang harus ada dalam metode ini adalah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.[23]
3.     Metode Positivisme
Metode ini dipelopori oleh August Comte (1798-1857). Metode ini bermula dari apa yang telah diketahui, yang faktual, serta yang positif. Metode ini mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta, maka dari itu penganut aliran ini menolak metafisika. Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologis, metafisika, dan positif. Melalui teologi seseorang bisa berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus, sementara pada tingkatan metafisika, kekuatan adikrodati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut dengan alam dan dipandanganya sebagai asal dari segala gejala. Sedangkan pada tahap positif, merupakan upaya mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologi ataupun metafisika dipandang sebagai sesuatu yang tidak berguna lagi, menurutnya tidak ada gunanya melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam, malacak hakikat sejati dari segala sesuatu. Yang penting menurut mereka menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.[24]


4.     Metode Kontemplatif
Metode ini menyatakan adanya keterbatasan indra dan pikiran manusia untuk memperoleh suatu pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Menurut Al-Ghazali pengetahuaan yang diperoleh melalui intuisi yang disinari Allah Swt secara langsung merupakan pengetahuan yang benar, akan tetapi pengetahuan ini bersifat induvidu dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan sebagaimana halnya ilmu pengetahuan dewasa ini yang selalu dikomersilkan.[25]
5.     Metode Dialektis
Dialektika pada mulanya adalah metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan. Pelopor metode ini adalah Socrates. Sementara menurut Plato dialektika diartikannya sebagai diskusi logika. Metode ini mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan dalam melakukan perdebatan. Sementara dalam teori pengetahuan, ia merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.[26]
D.    Penutup
Mungkin sekian penulisan makalah ini, dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa Epistemologi merupakan pokok kajian yang terpenting dalam filsafat ilmu setelah ontologi dan aksiologi. Epistemologi membahas bagaimana cara memperoleh atau mendapatkan serta menyusun suatu ilmu yang diikat oleh ketentuan-ketentuan ilmiah yang populer disebut metode ilmiah.
Metode ilmiah dapat juga diartikan sebagai ekspresi mengenai cara bekerja fikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu yang bersifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan.
Kebenaran ilmiah adalah hasil dari pemecahan masalah setelah dilakukan penelitian atau pengujian yang dilakukan oleh para pemikir ilmiah yang berdasar kepada metode-metode ilmiah. Kebenaran ilmiah sebetulnya mempunyai sifat yang relatif, maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi, yaitu selalu dipergunakan, diperkaya oleh hasil pengetahuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan para ilmuan sejenis.
Untuk implikasinya ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh secara sadar, melakukan sesuatu terhadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilmiahnya. Wallahu A’lam.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan penulis meminta saran dan masukannya untuk kesempurnaan makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Baggini, Julian, Lima Tema Utama Filsafat, , diterjemahkan Nur Zain Hae, Judul aslinya Philoshopy : Key Themes (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2004)
Sumarna, Cecep, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)
Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008)
Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Madkhal ila falsafah ( Kairo: Maktabah Azhariyah, t.th)


















MAKALAH
Tentang
EPISTEMOLOGI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam
mata kuliah Filsafat Ilmu


Oleh;
Roma Iswadi A          : 088101315
Syofrianisda               : 088101359


Dosen pembimbing ;
Prof. Dr. Aliasar, M.Ed




KONSENTRASI TAFSIR HADITS PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IMAM BONJOL
PADANG TAHUN 1432 H /2011 M


[1]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 85
[2]Ibid
[3]Ibid, h. 87
[4]Ibid, h. 87-88
[5]Ibid, h. 88
[6]Ibid, h. 88-89
[7]Ibid,  h. 91
[8]Suparlan Suhartono “Filsafat Ilmu Pengetahuan” (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 135
[9]Mahmud Hamdi Zaqzuq “Madkhal ila falsafah” ( Kairo: Maktabah Azhariyah, t.th), h. 110
[10]Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) h. 33
[11]Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat, , diterjemahkan Nur Zain Hae, Judul aslinya Philoshopy : Key Themes (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2004), h. 17-18
[12] Ibid,  h 19
[13]Ibid, h. 20-21
[14]Surajiyo. op.cit, h. 33
[15]Julian Baggini. op.cit.h. 21 - 23
[16]Julian Baggini. op.cit.h. 24
[17]Ibid, h. 25
[18]Amsal Bakhtiar, op.cit, h. 107.
[19]Cecep  Sumarna, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 78-79.
[20]Amsal Bakhtiar, op.cit, h. 152. 
[21]Ibid. h. 153.
[22]Ibid.
[23]Ibid.
[24]Ibid. h. 154 – 155
[25]Ibid.
[26]Ibid. 156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar