EPISTEMOLOGI
A. Pendahuluan
Epistemologi
merupakan salah satu materi pokok dalam kajian filsafat ilmu.filsafat sangat
besar manfaatnya terutama bagi para pecinta ilmu dan kebenaran. Karena salah
satu tujuan dari filasafat adalah untuk merubah pengetahuan menjadi ide
(gagasan). Ide merupakan suatu yang bisa dilakukan dalam merespons
fenomenologis yang muncul dalam kehidupan. Ide yang bagus dan cemerlang akan
lebih bermakna kalau meningkat menjadi sebuat sistem. Sistem adalah rangkaian
relasi-relasi yang saling keterkaitan atau yang memiliki hubungan dan akan
melahirkan sistem yang baru. Tindak lanjut dari sistem adalah terwujudnya
maping (konstruksi) atau pemetaan terhadap suatu masalah. Untuk terwujudnya
tujuan filsafat disinilah perlunya peran dari ontologi (Hakikat Maujudat), epistemologi (Teori keilmuan, bagaimana mendapatkannya), dan aksiologi (sistem nilai, untuk apa digunakan).
Epistemologi
membicarakan segala sesuatu tentang pengetahuan. Apa itu pengetahuan? Dari mana
asalnya, apa sumbernya? Untuk apa
pengetahuan itu? Apa gunanya? Betapa nilainya? Bagaimana membentuk pengetahuan
yang tepat dan bagaimana pula membentuk pengetahuan yang benar? Apa itu
kebenaran? Apa yang dapat diketahui manura pecinta ilsia dan sampai di mana
macamnya?
Karena
pentingnya epistemologi dalam filsafat, maka wajiblah bagi seorang yang ingin
menekuni bidang filsafat untuk mempelajari pembahasan ini.
B. Definisi Pengetahuan, Macam-Macam Pengetahuan, dan
Perbedaan Antara Pengetahuan dan Ilmu.
Sebelum kita membahas tentang teori pengetahuan
hendaklah kita mengetahui definisi dari pengetahuan tersebut, disamping itu
kita juga harus mengetahui jenis-jenis pengetahuan serta perbedaan antara
pengetahuaan dan ilmu. Penulis akan
menjabarkan hal tersebut sebagai berikut:
1.
Definisi Pengetahuaan
Secara
etimologi pengetahuan berasal dari
bahasa inggris yang mana artinnya adalah kepercayaan yang benar.[1]
Sementara secara terminology,
pengetahuan mempunyai banyak pengertian.
Menurut Drs. Sidi Gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui atau
hasil pekerjaan tahu, sementara hasil pekerjaan tahu tersebut merupakan hasil
dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua
milik atau isi pikiran. Maka pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha
manusia untuk tahu.[2]
Sementara dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses
kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
2.
Macam-Macam Pengetahuan
Burhanuddin
Salam, mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat macam,
yaitu:
a. Pengetahuan
biasa, yaitu pengetahuan yang dikenal dalam
filsafat dengan istilah common sense,
serta sering diartikan dengan good sense,
karena seseorang memiliki sesuatu di mana dia menerimannya secara baik. Seperti seseorang melihat sesuatu itu merah karena memang
itu merah, atau merasakan suatu benda panas karena memang dirasakan panas dan lain-lain.
Melalui common sense, setiap orang bisa
sampai kepada keyakinan secara umum terhadap sesuatu, yang mana mereka akan berpendapat
sama tentang hal tersebut. Pengetahuan ini (common sense) dapat
diketahui melalui pengalaman sehari-hari, sebagai contoh seperti air dapat
menghilangkan rasa haus, musim hujan dapat menyebabkan banjir, belajar dengan
sungguh-sungguh dapat memberikan hasil yang baik, dan lain-lain.[3]
b.
Pengetahuan ilmu,
maksudnya adalah ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian
yang sempit ilmu science dapat diartikan untuk menunjukan ilmu
pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif
dan objektif. Ilmu pada dasarnya
bertujuan untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense
yaitu suatu pemgetahuan yang didapat melalui pengalaman dan pengamatan dalam
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi dilanjutkan dengan suatu pemikiran yang
cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai macam metode. Pada dasarnya
pengetahuan yang diperoleh melalui ilmu biasanya dapat dicapai melalui
observasi, eksperimen, klasifikasi. Analisis ilmu itu bersifat objektif, pemikiran
logika diutamakan netral tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat
subjektif. Ilmu merupakan milik manusia secara komprehensif.[4]
c.
Pengetahuan filsafat,
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menitik beratkan pada
kedalaman kajian tentang sesuatu. Berbeda dengan ilmu yang mana hanya berpegang
pada satu bidang pengetahuan yang sempit. sementara filsafat membahas hal yang
lebih luas dan rinci. Pengetahuan biasanya memberikan pengetahuan yang
reflektif dan sempit, sehingga ilmu yang tadinya sempit, kaku serta cenderung
tertutup berubah menjadi luas dan longgar.[5]
d. Pengetahuan
agama, yaitu pengetahuan yang hanya diperoleh
dari Tuhan melalui perantara Rasul. Pengetahuan ini bersifat mutlak yang mana
harus dimiliki oleh setiap individual manusia. Pengetahuan ini mengajarjan hubungan manusia dengan Tuhan
yang mana sering kita kenal dengan hablu minallah, sementara itu
pengetahuan agama juga mengajarkan hubungan manusia antara sesama manusia atau hablu
minannas. Disamping memberikan pengatahuan tentang
Tuhan, pengetahuan ini juga memberikan pengetahuan tentang hari kiamat, yang
mana pengetahuan ini memberikan manusia doktrin untuk selalu optimis dengan
masa depannya. Pengaetahuan agama masih hidup pada saat ini serta masih
dibutuhkan oleh penganutnya, hal ini
disebabkan karena adanya doktrin tentang kehidupan setelah mati, sehingga
memberikan motivasi kepada penganutnya untuk selalu berbuat untuk akhirat.[6]
3. Perbedaan Antara Pengetahuan dan Ilmu
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu memiliki makna yang sama dengan pengetahuan,
dia merupakan sinonim dari kata pengetahuan akan tetapi berbeda dalam arti
material. Untuk membedakan antara
pengetahuan dan ilmu, mungkin kita bisa melihat definisi dari pengetahuan dan
ilmu. Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami objek tertentu yang mana dapat di peroleh
melalui metode deduksi, induksi, dan analisi. Sementara ilmu sebagaimana yang dikutip oleh The Liang Gie
dari Paul Fredomm dalam buku “The
Principles of Scientific Research” mempunyai definisi sebagai berikut:
Ilmu
adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia
memperoleh pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang
alam di masa lampau, sekarang dan
kemudian hari, serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya
pada dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri.[7]
Sementara menurut
Carles Siregar ”Ilmu adalah proses untuk membuat pengatahuan” Dalam makna umum,
ilmu sering kali dijadikan pembeda, seperti membedakan disiplin Ilmu
Pengatahuan Alam (IPA) dengan Ilmu Pengatahuan Sosial (IPS), sementara menurut
Jujun ilmu merupakan produk yang siap dikonsumsi. Disamping itu ilmu berbeda
dengan pengetahuan dari segi sistematis dan cara memperolehnya.
C.
Definisi Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Teori
pengetahuan dalam istilah filsafat kita kenal dengan nama Epistemologi. Kata epistemologi
berasal dari bahasa Yunani ‘episteme’ yang berarti pengetahuan atau ilmu
pengetahuan, dan ‘logos’ yang juga berarti pengetahuan. Jadi,
epistemologi berarti pengetahuan mengenai pengetahuan yang sering disebut
dengan istilah teori pengatahuan (theory
knowledge).[8]
Dr.
Mahmud Hamdi Zaqzuq menyatakan bahwa epistemologi mempunyai makna yang luas
serta mempunyai makna yang sempit. Adapun epistemologi dalam artian luas adalah
ilmu yang membahas semua permasalahan filsafat yang berhubungan dengan
pengetahuan seperti: ilmu mantiq, ilmu psikologi, ilmu sosial, ilmu sejarah
serta ilmu metafisika.
Adapun
makna sempit untuk epistemologi adalah ilmu yang mempelajari eksistensi
pengetahuan, dasar-dasar pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, syarat-syarat
pengetahuan, dan lain-lain.[9] Persoalan pokok yang dibahas dalam epistemologi adalah
berkenaan dengan persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara
mengetahuinya. Dalam epistemologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori
pengetahuan. Hal ini disebabkan karena setiap ilmu mempunyai objek, metode,
sistem, dan tingkatan kebenaran yang berbeda-beda. Segala macam perbedaan itu,
berkembang dari perbedaan yang tajam tentang sudut pandang dan metode yang
bersumber dari rasionalisme dan empirisme. Cara pandang dan metode mana
yang lebih dapat dipercaya itu tergantung kepada jenis dan sifat objek studi.
Imperisme identik dengan teori korespondensi sementara rasionalisme lebih
mengacu kepada teori koherensi dalam mencari kebenaran.
Dalam
kata lain, epistemologi merupakan suatu bidang filsafat yang membahas tentang hakikat kebenaran, karena semua
pengetahuan selalu mempermasalahkan tentang kebenaran, disamping itu epistemologi
juga membahas tentang kemungkinan pengetahuan ( Imkanul Ma’rifah ), tabiatul
Ma’rifah, serta sumber-sumber pengetahuan. Untuk memulai pembahasan ini
penulis mencoba untuk membicarakan tentang persoalan yang menjadi fundamental
dalam epistemologi :
1.
Asal Usul Atau Sumber Pengetahuan
Berbeda
sudut pandang filosof tentang asal usul serta sember pengatahuan, yang mana
perbedaan tersebut bisa kita lihat dari uraian dibawah ini:
a.
Rasionalisme
Aliran
ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat
dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah
yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu
syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat
dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapatkan oleh akal.[10]
Rasionalisme
kebanyakan dihubungkan secara erat dengan filosof abad ke-18-19, seperti
Descarters, Lebiniz, dan Spinoza. Rasionalisme percaya bahwasanya untuk
mencapai suatu pengetahuan, manusia cukup bersandarkan kepada sumber daya
logika dan intelektual. Penalaran demikian tidak berlandasan pada data
pengalaman, tetapi diolah dari kebenaran dasar yang tidak menuntut untuk menjadi
dan mendasarkan diri pada pengalaman. Penalaran dan prinsipnya mulai dengan apa
yang disebut a priori (sebagai
prioritas), sebab penalaran demikian mendahului pengalaman. Satu contoh tentang
proposisi apriori 1 + 1 = 2. Kita tahu ia benar hanya dengan memikirkan
hasilnya penjumlahan tersebut. Kita tidak perlu melihat dan mencari apakah
dunia nyata menyediakan petunjuk untuk atau membenarkan penjumlahan tersebut.[11]
Anekdot
kaum rasionalis sebagai “ Filosof yang mengawang-awang” tidak seluruhnya salah,
karena pendekatan mereka tentang realitas bisa ditemukan hanya dengan berpikir
tanpa kebutuhan untuk berangkat dari dan menguji dunia. Rasionalisme bisa
memunculkan sedikit bintik pada pikiran modern, yang digunakan untuk ide bahwa
pengetahuan yang menekankan diri pada percobaan dan pengamatan, adalah penting
untuk pengetahuan selanjutnya. Bagaimanapun juga ia bisa muncul agak sedikit
aneh jika seseorang membebaskan diri dari kekeliruan umum tentang rasionalisme
hal ini disebabkan oleh 2 hal :
1.
Kaum rasionalis tidak akan mengatakan bahwa seseorang
bisa berpikir tanpa memiliki sejumlah pengalaman apapun. Kita butuh belajar
bahasa dan dididik dengan benar jika kita ingin meraih kesempatan sukses dalam
filsafat. Pokok masalahnya bukanlah para filosof tidak perlu memiliki seluruh
pengalaman tentang dunia luar. Agaknya suatu saat mereka perlu dilengkapi
dengan keahlian berpikir yang baik,
bahasa, dan pemahaman tentang sesuatu, seperti matematika dan geometri, mereka
bisa meneruskan proses berpikir tanpa merujuk lebih jauh ke dalam pengalaman.
Penalaran sebagai a priori yang
demikian itu mulai dari prinsip utama ketimbang bukti pengalaman.
2.
Kaum rasionalis tidak mengatakan bahwa seseorang bisa
menemukan fakta-fakta khusus tentang dunia tanpa perlu masuk ke dalamnya. Tak
seorang pun bisa tahu berapa jarak antara Padang dan Bukit Tinggi, misalnya,
tanpa merujuk ke bukti pengalaman.Tetapi ketika ia menghadapi pengetahuan
tentang segi realitas yang paling dasar, ajakan untuk mengalami tidaklah
dibutuhkan. Untuk mengetahui jam berapa sekarang, misalnya, saya membutuhkan
sebuah jam. Tetapi untuk memahami sifat waktu itu sendiri, saya hanya perlu
berpikir hati-hati tentang konsep waktu.[12]
1.
Ia mengambil pemikiran rasionalitas deduktif sebagai
modelnya. Bisa dikatakan, seseorang mengajukan argumentasi dalam langkah yang
singkat, hanya menerima kesimpulan yang secara tegas mengikuti premis.
2.
Rasionalisme bersandarkan
pada asumsi bahwa hanya satu konsepsi realitas yang bisa konsisten
dengan penemuan rasio. Hanya satu jawaban yang benar untuk beberapa penjumlahan
yang diberikan dalam aritmetika, jadi kaum rasionalis percaya jika anda
berpikir sewajarnya, hanya ada satu catatan raelitas yang cocok dengan deduksi
alasan.
Asumsi
terakhir rasionalisme datang dari
serangan yang tak terpikirkan. Kebanyakan filosof sekarang ini percaya bahwa
ada banyak catatan realitas pokok yang seluruhnya konsisten secara logis. Untuk
memutuskan sesuatu benar, bagaimana pun juga, kita perlu menarik lebih banyak
lagi alasan. Kita juga perlu menarik bukti-bukti pengalaman.
b.
Empirisme
Aliran
ini berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan, baik pengalaman yang bathiniah maupun yang lahiriah. Akal bukan
jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan
yang diperoleh dari pengalaman.[14]
Para
filosof empirisme seperti John Locke, Berkele, dan David Hume mereka menolak
pikiran bahwa rasio sendiri memiliki kekuatan untuk memahami realitas. Malahan,
mereka memberikan peran utama dalam pengetahuan kepada pengalaman. John Locke
merupakan orang yang pertama sekali menolak serta menyerang kelompok
rasionalisme. Dengan menunjukkan bagaimana kita sangat bergantung kepada
pengalaman demi mencapai pengetahuan kita, ia menantang pandangan kaum
rasionalis yang menyatakan bahwa pengalaman bisa dikesampingkan ketika kita
berfikir secara filosofis atau benar.
Menurut David Hume, pikiran yang deduktif yang menurut kaum rasionalis
dinilai sebagai rute untuk semua pengetahuan, sebenarnya merupakan instrumen
yang sangat terbatas. Matematika, logika, geometri, semuanya bergantung pada
argumentasi deduktif. Akan tetapi pengetahuan mengenai dunia menuntut bentuk
penalaran yang berbeda, yang kini kita kenal sebagai induksi.
Untuk
melihat perbedaan antara pikiran deduktif dengan pikiran induktif, maka pertimbangkanlah
argumentasi deduktif dibawah ini:
Setiap
mahasiswa IAIN muslim.
Andi
salah seorang mahasiswa IAIN.
Andi adalah seorang muslim.
Dalam argumentasi
deduktif ini, kesimpulan mengikuti premis. Jika setiap mahasiswa IAIN muslim
dan Andi adalah seorang mahasiswa IAIN, maka Andi pastilah seorang muslim.
Sekarang lihatlah serta pikirkanlah argumen induktif dibawah ini:
Tidak pernah satu tahun pun tanpa hujan di Inggris.
Maka, akan turun hujan tahun depan di Inggris.
Argumen
ini sangat berbeda dengan argumen deduktif. Kita mungkin berfikir bahwa premis
menyediakan sebuah alasan yang baik untuk bisa menerima kesimpulan, akan tetapi
tidak perlu mengikuti bahwa jika hujan turun tiap tahun di Inggris, maka akan turun
hujan terus pada tahun yang akan datang. Kemungkinannya, betapa pun kecilnya,
tetap terbuka tahun depan tidak akan turun hujan di Inggris. Dalam argumentasi
induktif seperti itu kita bersandarkan pada sesuatu yang lain ketimbang pada
pikiran yang deduktif yang murni untuk mencapai kesimpulan kita. Inilah yang
disebut oleh David Hume sebagai keaneka ragaman, kebiasaan, dan pengalaman.[15]
Kelemahan
utama empirisme adalah akan banyak kebenaran
dan prinsip pemikiran yang secara mutlak menjadi dasar bagi penalaran
yang tepat tidak dibenarkan dan didasarkan pada fakta pengalaman. Sebagai
contoh aturan dasar logika, bukanlah fakta-fakta didunia nyata yang dinilai
supaya benar atau salah. Kaum emperisme perlu menjelaskan mengapa mereka
diizinkan untuk menolong diri mereka sendiri demi sarana intelektual ini ketika
di saat yang sama bertahan pendapat bahwa pengalaman menyediakan dasar bagi
seluruh pengetahuan.[16]
c. Foundalisme
Disamping
maraknya perdebatan antara rasionalis dan empiris mengenai asal-usul
pengetahuan, maka ada kebanyakan dari mereka yang berkomitmen yang
kadang-kadang disebut foundalisme.
Pikiran dasar yang melandasi foundalisme
adalah sederhana. Epistemologi menurut mereka adalah tentang menjawab
pertanyaan apa dan bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu. Alamiahnya dengan
mengusahakan dan menjawabnya dengan
mengidensifikasikan apa yang menjadi dasar pengetahuan kita. Jika kita
bisa melakukan ini dan menunjukkan bahwa pondasi ini terjamin, maka kita akan
bisa membangun pengetahuan kita secara meyakinkan.
Teori
yang digunakan oleh rasionalis dan empiris untuk mengetahui segala sesuatu
sangatlah berbeda dengan apa yang dibawa oleh kelompok foundalisme. Kalau seandainya rasionalisme menjadikan akal,
intelektual dan pikiran yang benar merupakan dasar untuk mengetahui sebuah
kebenaran (pengetahuan), sementara kaum
empiris menjadikan pengalaman sebagai dasar untuk menentukan suatu kebenaran
(pengetahuan). Sedangkan kaum foundalisme
berfikiran bahwa untuk mengetahuai suatu pengetahuan maka hendaklah kita
mencari apa yang menjadi dasar pengetahuan kita. Menurut kaum fondalisme, untuk mengetahui suatu
pengetahuaan, maka hendaklah dibangun dengan dasar yang kuat, seperti kita membangun
sebuah tembok tentulah kita membutuhkan
dasar yang kuat supaya tembok tersebut juga kuat.[17]
d. Intuisi dan Wahyu
Cara
lain yang dapat menjadi sumber pengatahuan adalah intuisi dan wahyu.
Menurut Henry Bergson intuisi adalah
hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan
insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Ia juga mengatakan
bahwa intuisi adalah suatu
pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.[18]
Sementara
wahyu adalah pengetahuan yang didapat
manusia melalui ”pemberian” Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang
terpilih yang disebut dengan Nabi dan Rasul. Agama merupakan kata kunci dari
wahyu. Ia memberi tahu kehidupan manusia pada saat ini serta apa yang akan
dihadapinya pada masa yang akan datang setelah ia meninggalkan dunia ini.
Menurut C.A. Qadir, pengakuan kaum filosof Barat terhadap eksistensi intuisi
dan wahyu sebagai sumber pengetahuan baru terjadi pada akhir abad 20, setelah
produk rasionalis dan empiris melahirkan produk sekularisme yang mekanistik
mengenai realitas, serta ketika tidak ada tempat lagi bagi ruh atau nilai dalam
pengetahuan manusia.[19]
2. Metode-Metode Dalam Teori Pengetahuan
Pada
dasanya pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain
mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, adapun metode tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Metode Induktif
Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam bentuk pernyataan yang
lebih umum.[20] Mayoritas keilmuan yang bersifat empiris biasanya
diperoleh melalui metode induktif. Dalam metode induktif, setelah diperoleh
pengetahuan maka, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan
kepada kita bahwasanya kalau logam dipanaskan pasti ia akan mengembang,
beranjak dari teori ini kita bisa mengetahui bahwa logam yang lain pun apabila
dipanaskan juga akan mengembang.[21]
2.
Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa
data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut.[22] Hal-hal yang harus ada dalam metode ini adalah adanya
perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan
bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat
empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian
teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa
ditarik dari teori tersebut.[23]
3.
Metode Positivisme
Metode ini dipelopori oleh August Comte (1798-1857).
Metode ini bermula dari apa yang telah diketahui, yang faktual, serta yang
positif. Metode ini mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada
sebagai fakta, maka dari itu penganut aliran ini menolak metafisika. Menurut
Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologis,
metafisika, dan positif. Melalui teologi seseorang bisa berkeyakinan bahwa
dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus, sementara pada
tingkatan metafisika, kekuatan adikrodati itu diubah menjadi kekuatan yang
abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang
disebut dengan alam dan dipandanganya sebagai asal dari segala gejala.
Sedangkan pada tahap positif, merupakan upaya mencapai pengenalan yang mutlak,
baik pengetahuan teologi ataupun metafisika dipandang sebagai sesuatu yang
tidak berguna lagi, menurutnya tidak ada gunanya melacak asal dan tujuan akhir
seluruh alam, malacak hakikat sejati dari segala sesuatu. Yang penting menurut
mereka menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta
dengan pengamatan dan penggunaan akal.[24]
4.
Metode Kontemplatif
Metode ini menyatakan adanya keterbatasan indra dan
pikiran manusia untuk memperoleh suatu pengetahuan, sehingga objek yang
dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal
yang disebut dengan intuisi. Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan yang datang
dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Menurut Al-Ghazali pengetahuaan
yang diperoleh melalui intuisi yang disinari Allah Swt secara langsung
merupakan pengetahuan yang benar, akan tetapi pengetahuan ini bersifat induvidu
dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan sebagaimana halnya ilmu
pengetahuan dewasa ini yang selalu dikomersilkan.[25]
5.
Metode Dialektis
Dialektika pada mulanya adalah metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan. Pelopor metode ini adalah Socrates. Sementara menurut
Plato dialektika diartikannya sebagai diskusi logika. Metode ini mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan
sehari-hari dialektika berarti kecakapan dalam melakukan perdebatan. Sementara
dalam teori pengetahuan, ia merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari
satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling
kurang dua kutub.[26]
D.
Penutup
Mungkin
sekian penulisan makalah ini, dari pemaparan diatas dapat kita simpulkan bahwa Epistemologi
merupakan pokok kajian yang terpenting dalam filsafat ilmu setelah ontologi dan
aksiologi. Epistemologi membahas bagaimana cara memperoleh atau mendapatkan
serta menyusun suatu ilmu yang diikat oleh ketentuan-ketentuan ilmiah yang populer
disebut metode ilmiah.
Metode
ilmiah dapat juga diartikan sebagai ekspresi mengenai cara bekerja fikiran.
Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan mempunyai
karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah,
yaitu yang bersifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang
disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan.
Kebenaran
ilmiah adalah hasil dari pemecahan masalah setelah dilakukan penelitian atau
pengujian yang dilakukan oleh para pemikir ilmiah yang berdasar kepada
metode-metode ilmiah. Kebenaran ilmiah sebetulnya mempunyai sifat yang relatif,
maksudnya kandungan kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan
revisi, yaitu selalu dipergunakan, diperkaya oleh hasil pengetahuan yang paling
mutakhir. Dengan demikian, kebenaran ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai
dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan para
ilmuan sejenis.
Untuk
implikasinya ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus
diperoleh secara sadar, melakukan sesuatu terhadap objek, didasarkan pada suatu
sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta
melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi
atau pemeriksaan tentang kebenaran ilmiahnya. Wallahu A’lam.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca,
dan penulis meminta saran dan masukannya untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Filsafat
Ilmu, ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004)
Baggini, Julian, Lima Tema Utama Filsafat, , diterjemahkan
Nur Zain Hae, Judul aslinya Philoshopy : Key Themes (Jakarta: PT. Mizan
Publika, 2004)
Sumarna, Cecep, Filsafat
Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004)
Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008)
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008)
Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Madkhal ila falsafah (
Kairo: Maktabah Azhariyah, t.th)
MAKALAH
Tentang
EPISTEMOLOGI
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas dalam
mata kuliah Filsafat
Ilmu
Oleh;
Roma Iswadi A :
088101315
Syofrianisda :
088101359
Dosen pembimbing ;
Prof. Dr. Aliasar, M.Ed
KONSENTRASI TAFSIR
HADITS PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI IMAM BONJOL
PADANG TAHUN 1432 H
/2011 M
[2]Ibid
[8]Suparlan
Suhartono “Filsafat Ilmu Pengetahuan” (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008),
h. 135
[9]Mahmud
Hamdi Zaqzuq “Madkhal ila falsafah” ( Kairo: Maktabah Azhariyah, t.th),
h. 110
[10]Surajiyo, Filsafat Ilmu Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008) h. 33
[11]Julian
Baggini, Lima Tema Utama Filsafat, , diterjemahkan Nur Zain Hae, Judul
aslinya Philoshopy : Key Themes (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2004), h.
17-18
[15]Julian
Baggini. op.cit.h. 21 - 23
[16]Julian
Baggini. op.cit.h. 24
[18]Amsal
Bakhtiar, op.cit, h. 107.
[19]Cecep Sumarna, Filsafat
Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.
78-79.
[20]Amsal Bakhtiar, op.cit, h. 152.
[22]Ibid.
[23]Ibid.
[25]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar