Senin, 16 April 2012

Takhrij Hadis


BAB I
PENDAHULUAN
  1. A. Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum islam ke-2 setelah Al-Qur’an, karena ia mempunyai peranan penting, terutama sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu validasi sebuah hadits harus menjadi perhatian. Hadits mempunyai tiga unsur penting yakni, sanad, matan dan perawi. Sebuah hadits belum dapat ditentukan apakah boleh diterima (maqbul) secara baik atau ditolak (mardud) sebelum keadaan sanadnya, apakah mereka muttashil ataukah munqathi’. Sanad berperan menentukan nilai hadits, karena sanad adalah matarantai para perawi yang mengantarkan sebuah matan. Sedangkan matan merupakan lafadh yang menunjuk pada isi sebuah hadits. Dari segi periwayatannya, posisi dan kondisi para perawi yang berderet dalam sanad sangat menentukan status sebuah hadits, apakah ia shahih, dla’if, atau lainnya. Dengan demikian ke-a’dalah-an, ke-tsiqoh-an dan ke-dlabith­-an setiap perawi sangat menentukn status hadits.
Diantara kita terkadang memperoleh atau menerima teks, baik dalam majalah maupun buku-buku agama bahkan dalam sebagian kitab karya Ulama’ Klasik, yang dinyatakan sebagi hadits tetapi tidak disertakan sanadnya bahkan tidak pula perawinya. Maka untuk memastikan apakah teks-teks tersebut benar merupakan hadits atau tidak, atau jika memang hadits maka perlu diketahui statusnya secara pasti, siapa perawinya dan siapa-siapa sanadnya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal maka teks tersebut harus diteliti atau dilacak, darimana teks tersebut diambil (menunjuk pada kitab sumbernya sekaligus siapa perawinya), dan bagaimana keadaan para perawi dalam sanad setelah ditemukan sanadnya. Hasilnya akan diketahui sumber teks (kitab dan penulis atau perawi), maupun sanadnya jika teks pun diketahui apakah sahih atau tidak. Pelacakan seperti itulah namanya penelitian hadits (takhrij al-hadits). Disini penulis akan sedikit memaparkan segala sesuatu mengenai takhrij al-hadits dan tersusun rumusan masalah sebagai berikut.
  1. B. Rumusan Masalah
    1. 1. Apa itu pengertian takhrij al-hadits ?
    2. 2. Apa obyek takhrij itu ?
    3. 3. Bagaimana metode takhrij dan contohnya ?
    4. 4. Apa manfaat ilmu takhrij ?
  1. C. Tujuan Penulisan Makalah
    1. 1. Untuk menjelaskan pengertian takhrij al-hadits.
    2. 2. Memaparkan obyek takhrij, metode takhrij dan contohnya.
    3. 3. Menjelaskan manfaat ilmu takhrij.
  1. D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis ialah metode literatur (mengkaji beberapa buku yang berkaitan dengan judul makalah).
BAB II
PEMBAHASAN
  1. A. Pengertian Takhrij al-Hadits
Secara kharfiah, kata takhrij ( تخريج) berasal dari fi’il madli kharaja (ﺧﺭﱠﺝ) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرﺝ) yang berarti keluar. Perhatikan dua ungkapan dalam dua contoh dibawah ini :
~       ‘Umar keluar (khuruj) dari masjid = المسجد من عمر خرج
~       Bintang mengeluarkan (takhrij) warna = اللون النجوم ﺧﺭﱠجت
Dengan makna tersebut maka takhrij al-hadits secara sederhana berarti “mengeluarkan hadits”, artinya hadits dicari atau dilacak dari sumbernya (kitab hadits).
Adapun secara terminologis, takhrij al-hadits (الحديث تخريج) dipahami sebagai cara penunjukan ketempat letak hadits pada sumber yang orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan. Dr. Mahmud at-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij al-hadits adalah cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij. Hatim menjelaskan pengertian takhrij al-hadits sebagai berikut :
بأسانيدها عنها الناقلة فإلى تعذرت فإن المسندة٬ الفرعية فإلى تعذرت فإن المسندة٬ الأصلية مصادره إلى الحديث عزو غالبا.                                                                                                                 ا الحديث مرتبة بيان مع
(Mengembalikan hadtis ke sumber-sumber aslinya yang akurat. Jika pada aslinya tidak ditemukan, maka dirujukkan pada cabang-cabangnya, dan jika mengalami kesulitan, maka hendaklah dikembalikan pada catatan yang memeliki sanad, serta menjelaskan tingkatan hadits secara umum)
Rumusan definitif tersebut mengandung maksud bahwa takhrij al-hadits adalah upaya menulusuri hadits hingga sumber atau asalnya, baik untuk menemukan sanad dan perawinya maupun untuk mengklsrifikasi redaksi matannya. Tanpa demikian dikhawatirkan hadits berada pada posisi dan status yang jauh dari apa yang diharapkan. Sejarah telah membuktikan bahwa munculnya hadits palsu (mawdlu’) dengan berbagai faktor dan motifnya telah mempengaruhi bahkan meracuni kehidupan beragama.
Cendikiawan muslim yang mula-mula melakukan takhrij adalah al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H./1070 M.), lalun Musa al-Hazimi al-Syafi’i (w. 584 H./1188 M.) dengan karyanya yang berjudul Takhrij al-Ahadits al-Muhadzdzab.
B. Obyek Takhrij
Sebagai sub sistem ilmu pengetahuan takhrij mempunyai obyek kajian. Adapun obyek yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad dan matan. Sanad sebagai unsur dari struktur hadits harus diteliti disamping banyak rijal yang terdapat dalam sanad mengundang kemungkinan untuk belum diterima haditsnya, juga secara realitas memang diantara para rijal dalam sanad hadits terkandang ada yang belum diketahui (majhul), misalnya terdapat unsur sanad yang hanya disebut dengan rajul (رجل), atau bahkan terkadang ada yang dilompati, misalnya setelah nama seorang tabi’in langsung dikatakan nabi, yang menunjukan sanadnya terjadi missing link atau infishal (انفصال). Apalagi sebuah hadits yang ditulis atau disampaikan tanpa sanad maupun perawi akhir.
Matan juga mesti diteliti lagi agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi atau teks yang ditemukan dari luar kitab hadits itu benar-benar merupakan hadits. Hal tersebut dilakukan karena berbagai alasan. Diantara satu dari sekian alasan meneliti matan adalah untuk menghindari pemalsuan hadits.
Kita harus memastikan hadits yang sampai pada kita adalah hadits yang bersumber pada kitab hadits, seperti kitab hadits karya al-Bukhari dan Muslim ra., serta kitab-kitab lainnya yang terkenal seperti Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, Sunan ibn Majah dan Sunan ad-Daruquthni. Sumber lainnya yang berkenaan dengan matan hadits adalah kitab al-Ilmam karya ibn Daqiq al-‘Id dan Riyadl as-Shalihin karya al-Imam an-Nawawi.
C.   Metode Takhrij dan Contohnya
Metode takhrij adalah cara atau teknis melakukan penelusuran terhadap hadits dari sumber asalnya, baik hadits tanpa sanad dan perawi, hadits dengan perawi, maupun hadits lengkap sanad dengan menggunakan kitab-kitab rujukan yang mendukung, maupun menggunakan alat tekhnologi digital.
Secara metodologis, takhrij hadits dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu takhrj dengan cara melacak perawi dari generasi shahabat, takhrij dengan cara melacak awal kata matan hadits, takhrij dengan cara melacak suku kata atau potongan matan hadits, takhrij dengan cara melacak tema hadits, dan takhrij dengan cara melacak sifat-sifat khuhus terdapat pada sanad maupun matan hadits.
Adapun langkah-langkah teknis yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan takhrij adalah :
  1. Proses Takhrij
Dalam melakukan penelitian (takhrij) terhadap sebuah hadits seorang peneliti (Mukharrij) hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Menentukan teks hadits atau topik terlebih dahulu.
  2. Menentukan atau mengetahui periwayat (rawi) hadits, misalnya Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan sebagainya.
  3. Menulusuri hadits yang dimaksud dari sumber aslinya, misalnya Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal al-Nabawi karya Dr. A.J. Winsick atau lainnya untuk mengetahui dimana posisi sebuah hadits yang dicari sesungguhnya berada.
  4. Meneliti sanad. Setelah didapati keberadaan hadits dan diketahui sanadnya dalam kitab tertentu, maka nama-nama yang terdapat dalam matarantai sanad diteliti satu persatu. Untuk meneliti nama-nama dalam sanad (rijal al-hadits) dapat dipergunakan buku-buku indeks perawi seperti kitab Tahdzib at-Tahdzib karya ibn Hajar al-‘Asqalani untuk mengetahui esensi nama dan silsilahnya, sifatnya dan hubungan dengan perawi lainnya, sehingga ditemukan simpulan tentang nama sebenarnya, sifatnya dan sebagainya, hiingga diketahui status haditsnya.
  5. Menyimpulkan kwalitas hadits. Dari langkah keempat tadi peneliti dapat menganalsis sebuah hadits melalui sanad, baik dari aspek kwantitas dan kualitas, lalu ditentukan statusnya. Jika dimungkinkan, maka dilakuka istinbath hukum dari proses tersebut.
  6. Contoh Takhrij al-Hadits tentang Buyu’/ jual-beli)
Untuk melakukan praktik takhrij al-hadits sebagaimana langkah-langkah diatas dapat kita contohkan, meneliti  hadits tentang menjual air (bay’ al-ma’) dari segi sanad dan sistem periwayatannya. Sebagai berikut :
  1. Mula-mula peneliti (Mukharrij) harus mengetahui siapa perawi haits tersebut. Jika suatu hadits tidak disebutkan perawinya maka peneliti harus melacaknya, misalnya, melalui kitab indeks hadits. Seorang perawi yang semestinya menjadi sentral riwayat hadits tetapi tidk disebutkan, seperti al-Bukhari, Muslim dan sebagainya. Ini dapat ditelusuri misalnya, melalui kitab al-Mu’jam al-Mufahras li alfadh al-Hadits an-Nabawi karya dr. W.J. winsick. Melalui penulusuran tersebut ditemukan hasil bahwa hadits tersebut terdapat dalam kitab musnad al-Imam Ahmad lengkap dengan petunjuk juz dan halamannya. Itu artinya perawi hadits tersebut adalah Imam Ahmad ra.
  2. Seorang peneliti mengkorfirmasi kebenaran data dari Mu’jam tersebut dengan melihat langsung kitab yang ditulis oleh perawi, yaitu Musnad al-Imam Ahmad. Setelah ditemukan kebenarannya, peneliti mencatat nomor halaman maupun nomor hadits.
  3. Seorang peneliti melengkapi haditsnya dengan nama-nama sanad (rijal al-hadits) dan perawinya untuk dilakukan penelitian selanjutnya.
Dalam penelitian ini hadits (sebagai contoh) yang dilacak dan telah ditemukan adalah sebagai berikut :
وكان المزنيﱠ عبد بن إياس سمع المنهال أبو أخبرني وقال عمر عن سفيان ثنا أبي حدثني عبدالله حدثنا
لايدري الماء بيع عن نهى م . ص الله رسول سمعت فإنيﱢ الماء لاتبيعوا قال  م . ص النبي أصحاب من
.(أحمد رواه) هو ماء أيﱡ
(…… dari ‘Amr, dari Abu Minhal yang mendengar Iyas ibn ‘Abd al-Muzaniy, berkata “janganlah menjual air karena aku mendengar Rasulullah saw. Melarang penjualan air, dimana ‘Amr tidak mengetahui air apakah yang dimaksudkan”).
Setelah dikonfarmasi hadits tersebut benar tercatat dalam kitab Musnad al-Imam Ahmad Juz IV halaman 137-138 pada hadits Iyas yang lengkap dengan matarantai perawi (sanad).
عن نهى

الله رسول
Sanad hadits yang ditemukan sebagai tersebut dalam kitab Musanad tersebut adalah Iyas, Abu al-Minhal, ‘Amr Sufyan, Ahmad ibn Hanbal dan Abd Allah ibn Ahmad. Perhatikan sistematikanya dalam skematika berikut :
–  –  — — – – –
سمعت
– —  — -
المزنيﱠ عبد بن إياس






سمع






—– —— — —
المنهال أبو










أخبرني



—— —- — –



دينار بن عمر
أخبرني
—— —- — —-










ثنا



—– —- —- —










أبي         حدثني



—- — —– — –










حدثنا



— —- — —–



غيرنا و نحن
  1. Seorang peneliti melacak semua identitas semua sanad dan hubungan antar perawi dalam sanad hadits dengan menggunakan pendekatan ilmu jarh wa-ya’dil untuk mengetahui kwalitas sanad.
  2. Melacak periwayatan hadits dan kwalitas perawi.
Setelah menemukan hadits lengkap dengan sanad seorang peneliti mengamati nama-nama dalam sana. Dalam menentukan sifat dan martabat hadits peneliti (Mukharrij) harus mengetahui nama-nama perawi. Bagaimana kwalitas mereka (‘adil, dlabith, atau tidak) dan bagaimana hubungan mereka dengan perawi sebelumnya ? untuk itu nama-nama perawi dalam matarantai sanad harus diidentifikasi satu persatu untuk diteliti. Penulis akan mengurua isnad sufyan dalam riwayat diatas.
  1. Abdullah (213-290)
    1. Nama dan hidupnya
Yang dimaksud nama ini adalah perawi yang nama lengkapnya ‘Abullah ibn Ahmad ibn Hambal ibn As’ad as-Syaibani, ayah ‘Abd al-Rahman al-Baghdadi.[1]
Ia menerima riwayat dari ayah(guru)nya (Ahmad ibn Hambal), Ibrahim ibn Hajjaj as-Syami, Ahmad ibn Mani al-Baghawi dan lainnya. Ia meriwayatkan banyak hadits pada Nasa’i.
  1. Komentar para
Para ‘Ulama hadits telah berkomentar tentang pribadi ‘Abd Allah ibn Ahmad. Diantaranya ialah:
1)  al-Khatib berkata: “ia sangat kredible (tsiqah), bagus analisisnya”
2)  an-Nasa’i berkata: “ia sangat tsiqah”
3) abu bakar al-Khalal berkata: “ia adalah lelaki jujur (rajul shaduq), tegar dan pemalu”
4) ibn Hajar menyebutnya sebagai perawi yang tsiqah.
Berdasarkan pernyataan para kritikus hadits dan ahli hadits tersebut, maka ‘Abd Allah ibn Ahamd adalah perawi yang shahih, pemalu, jujur, tsiqah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia adalah perawi yang ‘adil dan tsiqah.
Ahmad ibn Hambal (164-241)
  1.  
    1. Nama dan hidupnya
Nama lengkapnya ialah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal ibn Hilal ibn As’ad as-Syaibani, sebagai ayah dari ‘Abd Allah al-Marwazi al-Baghdadi.[2] Beliau wafat dan lahir di baghdad.
Beliau menerima riwayat dari banyak guru, yakni basyar ibn al-Mufdal, Ismail ibn ‘ilya’, Sufyan ibn ‘uyaynah, al-Syafi’i, ghindar, Mu’tamar ibn Sulaiman dan lainnya.
Riwayatnya disampaikan kepada al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan liannya.
  1. Komentar
Berikut ini beberapa komentar yang disampaikan para ahli tentang pribadi  Ahmad ra.:
1) al-Qathan berkata: “belum pernah ada pemuda yang selevel Ahmad datang kepadaku”
2) an-Nasa’i berkata: “Ahmad adalah orang yang hafidzh (hafal banyak hadits), bertaqwa dan ahli fiqh.”
3) abu bakar al-Khalal berkata: “ia adalah lelaki jujur (rajul shaduq), tegar dan pemalu”
4) ibn Hajar menyebutnya sebagai imam tsiqah hafidzh yang bisa dijadikan hujjah.
5) ibn al-Madiri berkata: “tidak ada diantara teman kami yang lebih baik hafalan haditsnya daripada Ahmad”.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahmad ibn Hambal adalah perawi yang tsiqah.
  1. Sufyan  (107-198)
    1. Nama lengkapnya
Berdasarkan data Ahmad ibn Hambal, yang dimaksud dengan nama Sufyan didalam hadits di atas adalah Sufyan ibn uyaynah. Nama lengkapnya adalah Sufyan ibn ‘uyaynah ibn Abi ‘Imran Maimun al-Halil, ayah (abu) Muhammad al-Kuf[3]i yang tinggal dan wafat dimakkah.
Beliau menerima riwayat dari banyak guru, yakni basyar ibn al-Mufdal, Ismail ibn ‘ilya’, Sufyan ibn ‘uyaynah, al-Syafi’i, ghindar, Mu’tamar ibn Sulaiman dan lainnya.
ia meriwayatkan hadits dari banyak guru seperti ‘Abd al-Malik ibn ‘Umair, Aban ibn Tughlab, ibrahim, musa,’Amr ibn Dinar, Ishaq ibn ‘Abd Allah ibn Abi Thalhah dan lainnya.
Dan ia meriwayatkan hadits kepada al-‘Amasy, ibn Juraji, Abu Ghassan an-Nahdi, Ahmad ibn Hambal dan lainnya.
b.        Komentar
Berikut ini beberapa komentar yang diberikan tentang Sufyan ibn ‘Uyaynah:
1) Ahmad berkata: “saya tidak melihat seorang ahli fiqh yang lebih pandai (afqah) dal hal al-Qur’an dan al-Hadits daripada Sufyan”
2) As’ad berkata: “Sufyan adalah seorang perawi yang konsisten, banyak hadits dan menjadi hujjah”
3) Ad-Dzahabi menta’dilnya sebagai tsiqah tsabat hafidzh dan imam.
4) ibn Hajar menta’dilnya sebagai tsiqah hafidzh.
5) Ibn Wahab berkata: “saya belum melihat orang yang lebih mengetahui kitab Allah daripada ibn ‘Uyaynah”
Berdasarkan pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Sufyan adalah perawi yang tsiqah dan muttashil dengan perawi sesudahnya.
  1. ‘Amr  (w. 126 H.)
    1. Nama dan nasab
Perawi ini bernama lengkap ‘Amr ibn Dinar al-Maliki, ayah Muhammad al-Atsram al-Jumahi.
Beliau menerima riwayat dari banyak guru, yakni ibn Abbas, ibn Zubair, ‘Abd Allah, al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, ibn ‘Amr ibn ‘Ash, Abu al-Minhal, Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn al-Husain dan lainnya.
Dan dari ‘Amr riwayat disampaikan  kepada Qatadah, Ayyub, ibn Juraji, Ja’far as-shadiq, Manshur ibn Zadzan, Sufyan dan lainnya.
  1. Komentar
Berikut ini beberapa komentar yang diberikan para ahli tentang ‘Amr:
1) ‘Ali dari al-Qathan  berkata: “’Amr lebih konsisten bagiku daripada Qatadah”
2) ‘Abd ar-Rahman ibn al-Hakam berkata tentang ibn ‘Uyaynah: “’Amr ibn Dinar menyampaikan riwayat kepada kami, ia adalah tsiqah, tsiqah,tsiqah…”
3) ibn Hajar: “ini semua mengindikasikan, bahwa ia seorang mudallis”. Menurut al-Mizzi, ibn Hajar  menta’dilnya sebagai tsiqah tsabat.
4) Ibn Hibban: “ia melebihi 70 orang”
Mayoritas komentator di atas menilai bahwa ‘Amr ibn Dinar adalah perawi yang tsiqah dan muttashil.
  1. Abu al-Minhal  (w. 106 H.)
    1. Nama dan nasab
Perawi ini bernama lengkap Abd ar-Rahman ibn Muth’im al-Bunani, Abu al-Minhal al-Bashri al-Makki,[4] yakni keturunan bashrah yang pindah ke makkah.
Beliau mengambil riwayat dari ibn ‘Abbas, Zaid ibn Arqam, dan Iyas ibn ‘Abd al-Muzni. Dan ia meriwayatkan hadits  kepada ‘Amr ibn Dinar, Habib ibn Ali Tsabit, Sulaiman al-Ahwal dan lainnya.
  1. Komentar
Berikut ini beberapa komentar yang diberikan tentangnya:
1) Abu Zur’a: “ia orang makkah dan tsiqah”. Demikian yang dicatat ibn Hibban
2) Al-Bukhari: “ia dipuji oleh ibn ‘Uyaynah (Sufyan)”
3) ibn Hajar memposisikan sebagai perawi yang tsiqah.
4) ibn Sa’d: “ia adalah tsiqah, sedikit hadits”
5) ad-Dzahabi memberikan sifat masyhur untuknya.
Beberapa komentar tersebut mengisyaratkan bahwa Abu al-Minhal adalah perawi yang tsiqah dan masyhur.
  1. Iyas  (w. 72 H.)
  2. Nama lengkapnya
Nama lengkap Iyas adalah Iyas ibn ‘Abd al-Muzaniy, ayah (Abu) ‘Auf.[5] Ia seorang sahabat yang wafat dikuffah. Menurut al-Hafidzh ibn Hajar, beliau adalh seorang sahabat yang banyak murid. Ad-Dzahabi menyebutnya sebagai shahabi.
Iyas meriwayatkan hadits dari Nabi saw. Bahwa Nabi melarang penjualan air (haditsnya telah tersebut didepan) keterangan tersebut mengisyaratkan bahwa Iyas adalah perawi yang dapat dipercaya (tsiqah) dan ‘adil.
Riwayat tersebut dari Iyas diterima oleh Abu al-Minhal. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud, ta-Tirmidzi, an-Nasa’i dan ibn Majjah.
  1. Komentar
Meskipun tidak banyak komentar yang diberikan kepada Iyas, tetapi beberapa telah memberikan komentar. diantaranya:
1) ibn Hajar: “dalam al-Mu’jam, al-Baghawi berkata “saya tidak mengetahuinya meriwayatkan hadits yang diisnadkan pada lainnya. Hadits yang diriwayatkan darinya adalah mauquf. Ia adalah kakek ‘Abd Allah ibn al-Walid ibn ‘Abd ibn Ma’qal ibn Muqrin ”
2) Al-Azdi ibn ‘Abd al-Bar berkomentar: “riwayatnya hanya diterima oleh ‘Abd ar-Rahman ibn Muth’im”.[6]
Komentar yang hanya datang dari dua orang tersebut mengandung penilaian bahwa iyas tidak terkenal, bahkan haditsnya dianggap mauquf oleh al-Baqhawi. Namun demikian keadaan tersebut tidak mengurangi nilai dan bobot hadits yang dibawanya karena para rijal yang lainnya sangat dipercaya.
  1. Analisa hasil temuan
Setelah semua perawi diketahui identitasnya maka peneliti mengadakan analisa. Berdasarkan temuan diatas, hadits diatas memiliki sanad yang muttashil dari bawah hingga atas. Semua perawi mendapat komentar dari banyak kalangan dan pihak yang menunjukkan bahwa mereka adalah tsiqah, meskipun mash ada sebagian yang memperoleh nilai kurang, yakni Iyas, ia dinilai oleh al-Baghawi bahwa hadits yang dibawanya adalah mauquf. Namn demikian belum ada yang mencelanya. Menurut Syu’aib al-Arnouth, komentator (syarih) kitab Musnad karya imam Ahmad, hadits ini mempunyai sistem isnad yang valid (shahih), para perawi (rijal) sanadnya adalah orang-orang yang tsiqah.
Berikut ini adalah daftar analisis terhadap nama-nama yang terdapat dalam sanad hadits diatas, dan simpulan keadaan para perawinya.
Nama perawi
ittishal



‘Adil
Keadaan sanad
Tidak tercela
Dlabith
Tidak   asing
Simpulan
‘Abd Allah ibn Ahmad ibn Hambal (w. 290 H)
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal  (164-241 H)
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Suyan ibn ‘Uyaynah (107-198 H)
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
‘Amr ibn Dinar (ayah Muhammad) (w. 126 H)
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Abu al-Minhal ‘Abd ar-Rahman ibn Muth’im (w. 106 H)
ü
ü
ü
ü
Tsiqah
Iyas ibn ‘Abd al-Muzanni ayah ‘Auf, seorang sahabat (w. 72 H)
_
ü
ü
_
Mawquf
  1. Peneliti, setelah menganalisis hasil temuannya sebagaimana diatas, kemudian mengambil sumpulan mengena status hadits berdasarakan keadaan dan sifat sanadnya, dan menjelaskan implikasi hukum penggunanya,
Dar uraian diatas dapat diambil simpulan (natijah), bahwa hadits tentang larangan menjual iar diatas adalah shahih sanadnya, karena para perawinya adalah muttashil, tidak syadz (ghair syudzudz) dan tidak tercela (ghair mu’allal), kecuali Iyas.
Riwayat beikut ini mempunyai kedekatan dengan riwayat diatas, yakni sama-sama riwayat Iyas dan sama-sama tentang “larangan menjual air”.
أخبره المنهال أبا أن دينار عمروبن أخبرني قال جريح بن ثنا روح ثنا أبي حدثني عبدالله حدثنا
عن نهى م . ص النبى فإن الماء فضل لاتبيعوا :قال  م . ص النبي أصحاب من عبد بن إياس أن
.(أحمد رواه) الماء بيع
Hadits kedua yang serupa dengan hadits diatas terdapat paada juz III, halaman 417. Menurut Syu’aib al-Arnauth (komentator musnad Ahmad), isnad hadits tersebut adalah shahih sesuai kriteria al-Bukhari dan Muslim.
Dengan demikian, maka hadits tersebut ditinjau dari segi sistem periwayatan dan didukung oleh riwayat lainnya adalah shahih. Dan oleh karena itu dapat dijadikan sumber hukum dan hujjah dalam islam utamanya mengenai buyu’.
Adapun takhrij al-hadits yang disajikan dalam tulisan ini tidak lain kecuali sekadar sebagai contoh, hanya terfokus pada aspek sanad. Dan mengenai matannya itu bisa diteliti dengan cara dicari di Kutub at-Tis’ah, jika tidak ada maka hadits itu dihukumi hadits maudlu’.
D.   Manfaat Ilmu Takhrij
Melihat kondisi hadits dari segi historisitasnya, hadits adalah pusat perhatian yang mengundang para pemerhatinya untuk bersikap waspada dalam memberlakukannya (menerima dan menyampaikannya), mengingat hadits baru ditulis dan disusun secara resmi pada abad ke II H. Itu menunjukkan proses panjang yang rentetan yang rekayasa didalamnya oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kecuali itu munculnya kliasifikasi hadits menjadi shahih dan tidak shahih (dla’if), kemudian muncul hadits hasan sebagai jawaban atas problema yang terjadi diantara keduanya, bahkan hadits madlu’, juga merupakan faktor lain yang membuat kita untuk berhati-hati terhadap hadits. Untuk memperoleh hasil temuan yang dapat dipertanggung jawabkan itulah maka diperlukan sebuah ilmu yang disebut dengan istilah Takhrij al-Hadits. Takhrij sebagai ilmu perlu diketahui oleh setiap orang yang hendak mendapatkan hadits dengan keadaan dan status yang jelas. Selanjutnya mengenai tujuan dan manfaat takhrij hadits ini, ‘Abd al-Mahdi melihatnya secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits tersebut. Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu :
1)      Untuk mengetahui sumber dari suatu hadits, dan
2)      Mengetahui kualitas dari suatu hadits, apakah dapat dtierima atau ditolak.
Sedangkan manfaat takhrij secara umum banyak sekali, diantaranya :
  • Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dari suatu hadits beserta ulama yang meriwayatkannya.
  • Menambah pembendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang ditunjukkannya.
  • Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahhui apakah munqathi’ atau lainnya.
  • Memperjelas perawi hadits yang samar karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
  • Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafadz dan yang dilakukan dengan makna saja.
  • Dan lain-lain.[7]
BAB IV
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Secara kharfiah, kata takhrij ( تخريج) berasal dari fi’il madli kharaja (ﺧﺭﱠﺝ) yang berarti mengeluarkan. Kata tersebut merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (خروج) yang berasal dari kata kharaja (خرﺝ) yang berarti keluar. Adapun secara terminologis, takhrij al-hadits (الحديث تخريج) dipahami sebagai cara penunjukan ketempat letak hadits pada sumber yang orisinil takhrijnya berikut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan. Dr. Mahmud at-Thahhan menjelaskan bahwa takhrij al-hadits adalah cara penunjukan sumber asli dari suatu hadits, menjelaskan sanadnya dan menerangkan martabat nilai hadits yang ditakhrij. Adapun obyek yang menjadi pusat kajian takhrij adalah sanad dan matan. Matan juga mesti diteliti lagi agar diperoleh keniscayaan bahwa redaksi atau teks yang ditemukan dari luar kitab hadits itu benar-benar merupakan hadits. Hal tersebut dilakukan karena berbagai alasan. Diantara satu dari sekian alasan meneliti matan adalah untuk menghindari pemalsuan hadits. Secara metodologis, takhrij hadits dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu takhrj dengan cara melacak perawi dari generasi shahabat, takhrij dengan cara melacak awal kata matan hadits, takhrij dengan cara melacak suku kata atau potongan matan hadits, takhrij dengan cara melacak tema hadits, dan takhrij dengan cara melacak sifat-sifat khuhus terdapat pada sanad maupun matan hadits.
Adapun langkah-langkah teknis yang harus diperhatikan oleh orang yang hendak melakukan takhrij adalah :
Proses Takhrij
Dalam melakukan penelitian (takhrij) terhadap sebuah hadits seorang peneliti (Mukharrij) hendaknya melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Menentukan teks hadits atau topik terlebih dahulu.
b. Menentukan atau mengetahui periwayat (rawi) hadits, misalnya Ahmad, al-    Bukhari, Muslim dan sebagainya.
  1. Menulusuri hadits yang dimaksud dari sumber aslinya, misalnya Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal al-Nabawi karya Dr. A.J. Winsick atau lainnya untuk mengetahui dimana posisi sebuah hadits yang dicari sesungguhnya berada.
  2. Meneliti sanad. Setelah didapati keberadaan hadits dan diketahui sanadnya dalam kitab tertentu, maka nama-nama yang terdapat dalam matarantai sanad diteliti satu persatu. Untuk meneliti nama-nama dalam sanad (rijal al-hadits) dapat dipergunakan buku-buku indeks perawi seperti kitab Tahdzib at-Tahdzib karya ibn Hajar al-‘Asqalani untuk mengetahui esensi nama dan silsilahnya, sifatnya dan hubungan dengan perawi lainnya, sehingga ditemukan simpulan tentang nama sebenarnya, sifatnya dan sebagainya, hiingga diketahui status haditsnya.
  3. Menyimpulkan kwalitas hadits. Dari langkah keempat tadi peneliti dapat menganalsis sebuah hadits melalui sanad, baik dari aspek kwantitas dan kualitas, lalu ditentukan statusnya. Jika dimungkinkan, maka dilakuka istinbath hukum dari proses tersebut.
. Selanjutnya mengenai tujuan dan manfaat takhrij hadits ini, ‘Abd al-Mahdi melihatnya secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukkan sumber hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits tersebut. Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi tujuan takhrij, yaitu : Untuk mengetahui sumber dari suatu hadits, dan mengetahui kualitas dari suatu hadits, apakah dapat dtierima atau ditolak.
DAFTAR PUSTAKA
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
al –‘Asqalani, Ibn Hajar. Tahdzib at-Tahdzib, Juz V,  Libanon: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1994.
Majid khon, Abdul, Ulumul Hadis, Cet IV, Jakarta, Amzah, 2010.
Idri, Study Hadis, Cet I, Jakarta, Prenada Media Group, 2010.

[1] Ibn Hajar al –‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib,  Libanon: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 1994, juz V, 141.
[2] Ibid., juz I, 66.
[3] Ibid., juz IV, h. 106.
[4] Ibid., juz VI, h. 241.
[5] Ibid., juz I, 354.
[6] Ibid.
[7] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), Cet, I, hlm. 27.
38 Comments
  1. Faisal N.A / SJ-B wrote
    at 1:41 pm - 31st May 2011 Permalink
apa saja yang menyababkab perlunya TAKHRIJ HADITS tersebut dilakukan?
Faisal N.A
SJ-B
C03210050
  1. Faisal N.A / SJ-B wrote
    at 1:42 pm - 31st May 2011 Permalink
apa yang menyebabkan kegiatan TAKHRIJ HADITS itu perlu dilakukan ?
Faisal N.A
SJ-B
C03210050
  1. muharis r. sjb/smt 2 wrote
    at 4:39 pm - 1st June 2011 Permalink
diantara lima metode takhrij hadist,metode apa yang paling baik dan cepat di gunakan untuk menentukan suatu suatu hadist palsu atau tidaknya?
bagaimana kita mengetahui suatu kepalsuan hadist,memalaui takhrij hadist?
  1. achmad safiudin .R wrote
    at 9:57 am - 7th June 2011 Permalink
untuk sdr muharris: sebenarnya kelima metode itu saling berhubungan, dan tidak bisa terpisahkan. coba dibaca sekali lagi !
  1. achmad safiudin .R wrote
    at 10:02 am - 7th June 2011 Permalink
untuk sdr faisal noor.: kami lansung jawab dua pertanyaan tersebut,,,
takhrij hadits sangat diperlukan untuk mengetahui status, sekaligus mengkritisi sebuah hadits, apakah hadits tersebut maudhu’ atau yang lainnya.
  1. ahmad habibur rohman wrote
    at 12:00 pm - 7th June 2011 Permalink
bagaimana pendapat mukhorrij tentang hadits-hadits kontemporer? apakah bisa di samakan dengan hadits-hadits lain?
  1. Libasut Taqwa wrote
    at 5:07 pm - 7th June 2011 Permalink
terdpat kitab-kitab klasik orang-orang yang disebut sufi, yang karya-karyanya cenderung mencantumkan hadits tidak dengan perawi, atau yang lainnya, hanya langsung dengan Rasulullah bersabda..
bagaimana para mukharrij hadits tentang ini, apakah oarng-orang tersebut dikatakan inkar hadits??,,,terima kasih
  1. naily hidayati wrote
    at 6:12 am - 8th June 2011 Permalink
tolong berikan contoh metode takhrij dengan cara melacak sifat-sifat khuhus terdapat pada sanad maupun matan hadits….!
  1. amrullah ilham f wrote
    at 10:45 am - 8th June 2011 Permalink
apakah ada syarat-syarat untuk menjadi mukharrij
  1. amrullah ilham f wrote
    at 10:46 am - 8th June 2011 Permalink
apakah ada syarat-syarat untuk menjadi mukharrij, kalau pun ada tolong sebutkan syarat-syaratny.
  1. amrullah ilham f wrote
    at 11:17 am - 8th June 2011 Permalink
metode apakah yang paling valid untuk mentakhrij hadits
  1. achmad safiudin .R wrote
    at 11:26 am - 8th June 2011 Permalink
untuk sdr ilham: mengenai syarat-syarat mukharrij bisa ditanyakan ke bab mukharrijul hadits, dalam makalah kami hanya menerangkan metodeny. dan untuk metode yang paling valid ialah seperti metode diatas itu menurut pendapat saya yang sudah membaca dari beberapa referensi. :-)
  1. Subairi Chasen wrote
    at 11:32 am - 8th June 2011 Permalink
Untuk saudara naily hidayati:
kalau melacak sifat-sifat perawi melalui sanad bisa di lacak dengan cara jarah wa ta’dil, untuk contohnya bisa dilihat di makalah kami lagi…
  1. Subairi Chasen wrote
    at 11:34 am - 8th June 2011 Permalink
Untuk saudara naily hidayati:
kalau melacak sifat-sifat perawi melalui sanad bisa di lacak dengan cara jarah wa ta’dil, untuk contohnya bisa dilihat di makalah kami lagi…contohnya di atas sudah ada..
  1. Subairi Chasen wrote
    at 11:39 am - 8th June 2011 Permalink
untuk saudara ahmad habiburrahman:
di makalah kami tidak menerangkan tentang tanggapan mukharrij terhadap hadits-hadits kontemporer, kami hanya menerangkan tentang penelitian takhrij hadits, silahkan anda tanyakan kepada pemakalah mukharrij hadits..
yang terakhir, seperti apakah hadits-hadits kontemporer itu, tolong berikan contohnya…
  1. achmad safiudin .R wrote
    at 11:49 am - 8th June 2011 Permalink
untuk sdr libas: mengenai hadits orang-orang sufi yang tidak mencantumkan sanad, karena memang mereka kebanyakan mendapat hadits itu melalui mimpi. dan itu tidak bisa dipakai dalam hadits yang dipakai untuk hukum syar’i, karena memang tidak jelas dan tidak dapat ditakhrij. untuk soal yang mengenai apakah termasuk inkarussunah bisa ditanyakan kepada bab yang lain yakni tentang inkarussunah. ;-)
  1. Farid Maulana R wrote
    at 12:03 pm - 8th June 2011 Permalink
bagaimanakah cara mengetahui sumber-sumber dari hadist yang satu ke hadist yang lain?
  1. Fransiska nurin n wrote
    at 1:13 pm - 8th June 2011 Permalink
ass….
mengapa dalam penelitian takhrij hadis ini, anda menggunakan metode literatur??
apakah ada metode lain dalam mentakhrij suatu hadis?
wass…..
  1. Lailatul Khoiriyah wrote
    at 5:42 pm - 8th June 2011 Permalink
hemmm…untk mklah, lmayan bgus, cz d upload,,hehe,…..tp d sni sya msh bingung tntg obyek takhrij, knpa yg p’lu hxa sanad n matan, trz bgaimna dng perowi? apakh perowi tdk d bthkan dlm metode takhrij…??? thank,,,,,
  1. Anis Hidayati wrote
    at 7:45 pm - 8th June 2011 Permalink
Assalamu’alaikum wr. wb.
Di atas telah di jelaskan tentang Obyek Takhrij Hadits serta Metode dan contohnya. Namun dalam hal ini, bagaimanakah Susunan Takhrij Hadits dalam sebuah kitab Takhrij Hadits?
Karena, faktanya jumlah Hadits sangantlah banyak.
Sekian, terima Kasih.
Wassalamu’alaikum.
  1. achmad safiudin. R wrote
    at 9:01 am - 9th June 2011 Permalink
untuk sdr khoir: perowi itu kan sudah termasuk dalam matan, jadi ya otomatis dibutuhkan dalam metode takhrij. :-)
  1. M.Najib wrote
    at 9:06 am - 9th June 2011 Permalink
apakah takhrij hadist dapat menyelesaikan masalah kontemporer?
  1. achmad safiudin. R wrote
    at 9:07 am - 9th June 2011 Permalink
untuk sdr farid:untuk mengetahui sumber-sumber hadith, itu dapat dilihat dari beberapa kitab yang biasanya dipakai untuk mentakhrij. diantaranya al-Mua’tha’ kitabut-tis’ah.. DLL
  1. Irzak Yuliardy N wrote
    at 9:08 am - 9th June 2011 Permalink
jelaskan dgn singkat tentang proses men-takhrij ?
  1. faris achmad ibrahim wrote
    at 9:14 am - 9th June 2011 Permalink
apakah abdullah ibn ahmad hanya meriwayatkan hadits dari gurunya saja atau ada yang lain,tolong jelaskan?
  1. achmad safiudin. R wrote
    at 9:22 am - 9th June 2011 Permalink
untuk sdr fanksisco: metode literatur adalah metode dengan cara mengkaji beberapa buku terkait dengan pembahasan yang akan dibahas. dan metode itu dipakai dalam makalah ini untuk mengkaji beberapa buku yang terkait dalam pembahasan. (itu metode penelitian kami)….
kalau ditinjau dari pembahasan yakni metode dalam mentakhrij. apakah harus memakai metode literatur (mengkaji beberapa buku) ? saya jawab ya. karena patokan kita dalam mentakhrij itu harus mengkaji buku-buku yang dikarang pada masa tabi’tabi’in. dan kita tidak bisa kalau tidak memekai metode itu. :-(
  1. gusti ryanindra wrote
    at 9:24 am - 9th June 2011 Permalink
apa yang melatarbelakangi abu bakar al-Khalal berkata: “ Abd Allah ibn Ahmad adalah lelaki jujur (rajul shaduq), tegar dan pemalu”,??
  1. achmad safiudin. R wrote
    at 9:28 am - 9th June 2011 Permalink
untuk sdr anis: akan dijawab oleh saudara tsubairi chasen, saya persilahkan saudara ubay untuk menjawab pertanyaan dari sdr anis………,,
hehehe…;-) ;-(
  1. husnul khotimah wrote
    at 9:57 am - 9th June 2011 Permalink
diats kn di jelaskan, untuk mentakhrij hadis kan bisa dengan lima cara, kemudian yang saya tanyakan di sini dari 5 cara tersebut mana yang sering di gunakan oleh para mukharrij untuk mentahrij hadis?
  1. Subairi Chasen wrote
    at 10:14 am - 9th June 2011 Permalink
untuk saudara farid maulana R.:
untuk mengetahui sumber-sumber hadits, anda harus lebih banyak membaca literatur yang menerangkan tentang takhrij hadits, karena dengan memahami kitab-kitab takhrij, anda akan dengan gampang mencari sumber suatu hadits ke hadist yang lain.
  1. Subairi Chasen wrote
    at 10:27 am - 9th June 2011 Permalink
untuk saudari Lailatul khoiriyah:
sebenarnya antara sanad dan perawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan, karena sanad hadits pada setiap generasi terdiri dari para perawi, dan perawai lah yang menghimpun kedalam buku hadits, sedangkan sanad tidak menghimpunnya. jadi, perawi tidak terlalu di butuhkan dalam proses takhrij hadits, karena perawi hanyamenyampaikan sebuah haidts dari gurunya kepada orang lain.
  1. Rizki Pradana.H wrote
    at 1:39 pm - 9th June 2011 Permalink
Bisakah mentakhrij hadist berdasarkan kedudukan hadist tersebut ? .( misalnya ada sebuah hadist yang kedudukannya maudu’. Dan kita akan mencari informasi mengenai sumbernya saja). kalau bisa, kitab apa yang menjadi rujukannya ?
  1. utha wahyu S wrote
    at 8:42 pm - 9th June 2011 Permalink
menurut anda apa keuntungan dan manfaat mempelajari takhrij hadist ?
  1. rina fatmawati ar wrote
    at 8:44 pm - 9th June 2011 Permalink
bagaimana ketika didalam takhrij hadist tidak ditemukan sanad rowinya????
  1. azilatul rohmania wrote
    at 8:48 pm - 9th June 2011 Permalink
apakah ada cara yang lebih singkat untuk mencari takhrij hadis ?
  1. rooza may wrote
    at 10:01 pm - 9th June 2011 Permalink
salam,,
mengenai matan hadist,,,apakah denga metode takhrij ini,kalimat2 tambahan(palsu) dalam sebuah matan dapat diketahui ?? maksudnya,dapat membedakan antara matan hadist yang asli dengan matan hadist yg palsu(sudah ada penambahan redaksinya)
  1. Ahmad Syazman wrote
    at 10:33 am - 10th June 2011 Permalink
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, maka akan sulit unruk menemukan hadis yang dimaksud. Sebagai contoh ;
اِذاأَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَ خُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadis tersebut adalah iza atakum (اِذا اَتَاكُمْ). Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum (لَوْ اَتَا كُمْ) atau iza ja’akum [15](اذاجَاءَكُمْ), maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadis yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang sama.
  1. Ahmad Maududi wrote
    at 10:19 pm - 10th June 2011 Permalink
Untuk sebuah metode takhrij, tolong bagaimana sebenarnya seorang mukhorij hadits dapat mentakhrij hadits? (syarat&ketentuan). Trm Ksh
Takhrij Hadis dan Metode-Metodenya
Menurut Mahmud al-Tahhan, pada mulanya ilmu Takhrij al-Hadis tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadis, karena pengetahuan mereka tentang sumber hadis ketika itu sangat luas dan baik. Hubungan mereka dengan sumber hadis juga kuat sekali, sehingga apabila mereka hendak membuktikan ke-sahih-an sebuah hadis, mereka dapat menjelaskan sumber hadis tersebut dalam berbagai kitab hadis, yang metode dan cara-cara penulisan kitab-kitab hadis tersebut mereka ketahui.[1]
Namun ketika para Ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu hadis, yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu, dan  setelah berkembangnya karya-karya Ulama dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Sejarah, yang memuat hadis-hadis Nabi Saw yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka Ulama Hadis terdorong untuk melakukan Takhrij terhadap karya-karya tersebut.
Mereka menjelaskan dan menunjukkan sumber asli dari hadis-hadis yang ada, menjelaskan metodenya dan menetapkan kualitas hadis sesuai dengan statusnya, apakah sahih atau daif. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan Kutub at-Takhrij (Buku-buku Takhrij).[2]
Kitab-kitab induk Hadis yang ada mempunyai susunan tertentu, dan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Yang hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar penelitian dan pencarian hadisnya dapat dilakukan dengan mudah. Cara praktis dan ilmiah inilah yang merupakan kajian pokok ilmu Takhrij. [3]
A. Pengertian Takhrij Hadis
Takhrij menurut bahasa mengandung pengertian bermacam-macam, dan yang populer diantaranya adalah al-istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (melatih atau membiasakan), al-tawjih (memperhadapkan)[4]
Sedangkan secara terminologi, tajhrij berarti :
عَزْوُ الاحَادِيْثِ الّتِى تُذْكَرُ فِي المُصَنَّفاَتِ مُعَلَّقَةً غَيْرَ مُسْنَدَةٍ وَلا مَعْزُوَّةٍ اِلَى كِتاَبٍ اَوْ كُتُبٍ مُسْنَدَةٍ اِمَّا مَعَ الْكَلاَمِ عَلَيْهَا تَصْحِيْحاً وَتَضْعِيْفًا وَرَدًّا وَقَبُوْلاً وَبَيَانِ مَافِيْهَا مِنَ اْلعِلَلِ وَاِمَّا بِالاِقْتِصَارِ عَلَى الْعَزْوِ اِلَى الاُصُوْلِ  
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad,  baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya)nya.[5]
Para muhadisin mengartikan takhrij hadis sebagai berikut:
  1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
  2. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyususn kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
  3. ‘Mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mugis sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadis mengeluarkan hadis-hadisdari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu”.
  4. Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.
  5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber yang asli, yakni kitab yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian.[6]
Dari uraian defenisi di atas, takhrij Hadis dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
  • Mengemukakan asal usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi Saw. Kitab-kitab tersebut seperti; Al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak Al-hakim.
  • Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.
Dari berbagai pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat dari takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran dan pencarian hadis pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni; 1). Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan. 2). Syarat untuk penelitian sanad. 3). Menghindari kesalahan redaksi. 4). Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadis daif kepada hadis sahih atau sebaliknya.[7]

B. Tujuan dan Manfaat Takhrij Hadis
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.[8]
Penguasaan tentang ilmu Takhrij sangat penting, bahkan merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij, seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para Ulama pengkodifikasi hadis.
Dengan mengetahui hadis tersebut dari sumber aslinya, maka akan dapat diketahui sanad-sanadnya. Dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya.
Dengan demikian Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Adapun manfaat takhrij Hadis antara lain sebagai berikut:
  1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian.
  2. Dapat diketahui status hadis sahih li zatih atau sahih li ghairih, hasan li zatih, atau hasan li ghairi. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhur, aziz, dan gharibnya.[9]
  3. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis da`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
  4. Memperjelas perawi yang samar, karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
  5. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
  6. Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanadnya.
  7. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
  8. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.
  9. Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandingan-perbandingan sanad yang ada.[10]
  10. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadis tersebut mardud (ditolak).
  11. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.[11]

C. Kitab-Kitab yang Diperlukan dalam Men-takhrij
Dalam melakukan takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu yang dapat dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah dan mencapai sasaran yang dituju. Diantara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam men-takhrij adalah: Usul al- Takhrij wa Dirasat al-Asanid oleh Muhammad Al-Tahhan, Husul al-Tafrij bi Usul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq al- Gharami, Turuq Takhrij Hadis Rasul Allah Saw karya Abu Muhammad al-Mahdi ibn `Abd al-Qadir ibn `Abd al Hadi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi oleh Syuhudi Ismail, dan lain-lain.
Selain kitab-kitab di atas, di dalam men-takhrij diperlukan juga bantuan dari kitab-kitab kamus atau mu’jam hadis dan mu’jam para perawi hadis, diantaranya seperti:
  • AL-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini memuat hadis-hadis dari Sembilan kitab induk hadis seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmidzi, Sunan abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad.
  • Miftah Kunuz al- Sunna. Kitab ini memuat hadis-hadis yang terdapat dalam empat belas buah kitab, baik mengenai Sunnah maupun biografi Nabi. Yaitu selain dari Sembilan kitab induk hadis yakni; musnad al-Tayalisi, Musnad Zaid ibn Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Talib, Al-Tabaqat al-Kubra, Sirah ibn Hisyam, Al- Magazi.[12]
Sedangkan kitab yang memuat biografi para perawi hadis diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Thahhan sebagai berikut:[13]
a) Kitab yang memuat biografi sahabat
  1. Al-Isti ab fi Ma`rifat al Asahab, oleh ibn ‘abd al-Barr al-Andalusi (w. 463 H/1071 M).
  2. Usud al-Ghabah fi Ma`rifat al-Sahabah, oleh Iz al-Din Abi al-Hasan Ali ibn Muhammadibn Al-asir al-Jazari (w. 630 H/ 1232 M)
  3. Al-Ishabah fi Tamyizal-Sahabah, oleh Al-Hafiz ibn Hajar al-asqalani (w. 852 H/ 1449).
b) Kitab-kitab Tabaqat yaitu kitab-kitab yang membahas biografi para perawi hadis berdasarkan tingkatan para perawi (tabaqat al-ruwat), seperti:
  1. Al-Tabaqat al-Kubra, oleh `Abdullah Muhammad ibn Sa`ad Khatibal-Waqidi (w. 230 H).
  2. Tazkirat al-Huffaz, karangan Abu `Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zahabi (w. 748 H/ 1348 M).
c) Kitab-kitab yang memuat para perawi hadis secara umum;
  1. Al-Tarikh al-Kabir, oleh Imam Al-Bukhari (w 256 H/870 M)
  2. Al-Jarh wa al-Ta`dil, karya ibn Abi Hatim (w 327 H).

D. Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman, yaitu;
1. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis
Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadis. Hadis-hadis dengan metode ini dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila akan men-takhrij hadis yang berbunyi;
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُرْعَةِ
Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafaz yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV.[14] Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;
عَنْ اَ بِيْ هُرَيْرَةََ أَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاَلَ: لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِاالصُرْعَةِ اِنَّمَا الشَدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَالغَيْبِ
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah”.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi, metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz pertamanya sedikit saja, mak akan sulit unruk menemukan hadis yang dimaksud. Sebagai contoh ;
اِذاأَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَ خُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ
Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadis tersebut adalah iza atakum (اِذا اَتَاكُمْ). Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum (لَوْ اَتَا كُمْ) atau iza ja’akum [15](اذاجَاءَكُمْ), maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan hadis yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang sama.
2. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis
Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf, tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan jarang penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa’ malik, dan Musnad Imam Ahmad.
Contohnya pencarian hadis berikut;
اِنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ طَعَامِ الْمُتَبَارِيَيْنِ أَنْ يُؤْكَلَ
Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha (نَهَى) ta’am ( طَعَام), yu’kal (يُؤْكَلْ) al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَينِ). Akan tetapi dari sekian kata yang dapat dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini (المُتَبَارِيَيْنِ) karena kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata tabara (تَبَارَى) di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alatuntuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk dasar tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mu’jammenurut urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).
Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam hadis yang akan kita temukan melalui Mu’jam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan ditemukan hadis yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap). Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadis dan memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis. Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.
3. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, lalu kita mnecari bantuan dari tiga macam karya hadis yakni;
  • Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
  • Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya.
  • Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara lengkap.
Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawih yang hendak diteliti itu tidak diketahui.
4. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis
Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan ditakhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus yang demikian seorang mekharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung oleh hadis tersebut. Contoh :
بُنِيَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ انْ لاَاِلهَ اِلاَّ اللّهُ وانَّ مُحَمَّدّا رَسُوْلُ اللَّهِ وَاِقَامِ الصّلاَةِ وَايْتَاءِ الزَّكاَةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلاّ
Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Hadis diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak mungkin diterapkan.
5. Takhrij Berdasarkan Status Hadis
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis dengan membuka kitab-kitab seperti diatas dia telah melakukan takhrij al hadis.[16]
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas, dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.
Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :
  • Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi.
  • Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadis al-Qadsiyyah oleh al-Madani.
  • Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

E. Penutup
Pada hakikatnya takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Penelusuran dan pencarian hadis pada sumber aslinya ini memeliki beberapa urgensi yakni;
  • Secara metodologis pengutipan hadis pada sumber primer adalah suatu keharusan.
  • Syarat untuk penelitian sanad.
  • Menghindari kesalahan redaksi.
  • Menghindari kesalahan nilai hadis karena membangsakan kualitas hadis secara tidak benar. Seperti menempatkan hadis daif kepada hadis sahih atau sebaliknya.
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Dengan demikian Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperkatikan kaida-kaidah ulumul hadis yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Di dalam melakukan takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman yaitu: 1) Takhrij melalui lafaz pertama matan hadis, 2) Takhrij berdasarkan tema hadis, 3) Takhrij berdasarkan perawi sahabat, 4) Takhrij berdasarkan status hadis, 5) Takhrij melalui kata-kata dalam matan hadis.

Catatan Kaki

[1] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al Asanid,
[2] Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis,
[3] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[4]Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn Abd Al-Qadir Al-Hadi, Tariqu Takhrij Hadis Rasulullah `Alaihi wasallam,
[5] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[6] Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Sanad Hadis,
[7] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis,
[8] Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis,
[9] Ahmad Zarkasyi Chumaidy, Takhrij Al-Hadis
[10] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[11] Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis,
[12]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[13] Mahmud al-Tahhan, Ushul al-Takhrij,
[14] Agus Solahudin dan Agus suyadi, Ulumul Hadis,
[15] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,
[16] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,

Panduan Praktik Takhrij al-Hadis Manual dan Digital

May 10th, 2011 | By admin | Category: wacana


Panduan Praktik Takhrij al-Hadis Manual dan Digital.
A. Sekilas Tentang Takhrij Al-Hadis
Secara etimologis kata takhri>j berasal dari kata kharraja yang berarti al-z}uhu>r (tampak) dan al-buru>z (jelas). Ia juga bisa berarti al-istinba>t} (menyimpulkan), al-tadri>b (meneliti) dan al-tauji>h (menerangkan). Sedangkan menurut Mah}mu>d T}ah}h}a>n takhri>j berarti ijtima>’ amrayn muta>d}idayn fi syay’in wa>h}id (kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah.

Adapun secara terminologis, takhri>j adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber-sumber aslinya, di mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajadnya jika diperlukan. Dalam istilah ahli hadis, takhri>j dimaknai dengan:
a. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan periwayatnya dengan sanad lengkap serta dengan penyebutan metode yang mereka tempuh. Inilah yang dilakukan oleh para penghimpun dan penyusun kitab hadis, seperti al-Bukha>ri yang menyusun S}ah}i>h} al-Bukha>ri, Muslim yang menyusun S}ah}i>h} Muslim dan yang lainnya.
b. Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis atau berbagai kitab yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab ataupun karya yang dijadikan sumber acuan. Kegiatan ini seperti yang dilakukan oleh al-Bayhaqi yang banyak mengambil hadis dari kitab al-Sunan karya Abu> H}asan al-Bas}ri> al-Safar, lalu al-Bayhaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
c. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab yang disusun mukharrijnya langsung. Kegiatan seperti ini salah satunya dilakukan oleh para Ibn H}ajar al-Asqala>ni> yang menyusun kitab Bulu>g} al-Mara>m.
d. Mengemukakan hadis berdasarkan kitab tertentu dengan disertai metode periwayatan dan sanadnya serta penjelasan keadaan para periwayatnya serta kualitas hadisnya. Pengertian takhrij seperti ini seperti yang dilakukan oleh Zainud al-Di>n Abd al-Rah}ma>n ibn al-H}usayn al-Ira>qi yang melakukan takhri>j terhadap hadis-hadis dalam kitab Ihya>’ Ulu>m al-Di>n karya al-Gazali dengan judul bukunya Ikhba>r al-Ih}ya>’ bi Akhba>r al-Ihya>’.
e. Mengemukakan letak asal suatu hadis dari sumbernya yang asli, yakni berbagai sumber kitab hadis dengan dikemukakan sanadnya secara lengkap untuk kemudian dilakukan penelitian terhadap kualitas hadis yang bersangkutan. Pengertian hadis yang kelima ini nampaknya yang paling tepat dalam konteks penelitian hadis yang banyak dilakukan di zaman sekarang.
Adapun manfaat dari kegiatan takhrij hadis ini sangatlah banyak, antara lain:
a. Memperkenalkan sumber-sumber hadis, kitab-kitab asal di mana suatu hadis berada beserta ulama yang meriwayatkannya.
b. Dapat menambah perbendaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang dirujuknya. Semakin banyak kitab asal yang memuat sebuah hadis, maka semakin banyak pula perbendahaaran sanad yang dapat diketahui.
c. Dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadis yang banyak, maka dapat diketahui apakah riwayat suatu hadis itu munqati’, mu’dal dan lain sebagainya. Demikian pula dapat diketahui apakah status periwayatannya itu sahih, hasan atau da’if.
d. Dapat memperjelas kualitas suatu hadis dengan banyaknya riwayat. Suatu hadis yang da’if kadang diperoleh melalui suatu riwayat, namun takhrij memungkinkan akan menemukan riwayat lain yang sahih. Hadis yang sahih itu akan mengangkat kualitas hadis yang da’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
e. Dapat diketahui penilaian para ulama mengenai kualitas suatu hadis.
f. Dapat memperjelas periwayat hadis yang samar. Dengan adanya takhri>j kemungkinan dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara legkap dan tepat.
g. Dapat memperjelas periwayat hadis yang namanya tidak diketahui, yaitu melalui perbandingan sanad yang ada.
h. Dapat menafikan pemakaian lambing periwayatan “’an” dalam periwayatan hadis oleh seorang mudallis.
i. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.
j. Dapat menjelaskan nama periwayat yang sebenarnya.
k. Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
l. Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
m. Dapat menghilangkan unsur sya>z.
n. Dapat membedakan hadis yang mudraj.
o. Dapat menghilangkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh periwayat.
p. Dapat membedakan antara periwayatan secara lafaz dan periwayatan secara makna.
q. Dapat menjelaskan waktu dan tempat turunnya hadis, dan lain-lain.

Dengan demikian, melalui kegiatan takhri>j al-hadis peneliti dapat mengakses berbagai sanad dari sebuah hadis sera dapat mengumpulkan berbagai redaksi dari hadis tersebut.
B. Takhrij Al-Hadis Secara Konvensional
Dalam kegiatan takhri>j al-hadis secara konvensional ada lima metode yang biasa digunakan oleh para ahli, yaitu:
a. Dengan cara mengetahui nama rawi hadis tingkat pertama (ma’rifat al-ra>wi al-a’la>), yakni Sahabat jika hadis tersebut muttasil dan tabi’in jika hadis tersebut mursal.
Metode ini membutuhkan perangkat alat bantu berupa tiga jenis kitab hadis, yaitu:
1) Al-Masa>nid, yaitu kitab-kitab hadis yang disusun pengarangnya berdasarkan nama-nama sahabat atau kitab-kitab yang menghimpun hadis para sahabat.
Adapun model penyebutan nama-nama sahabat dalam kitab-kitab musnad (al-masa>nid) tidaklah seragam antara satu kitab dengan yang lainnya. Ada yang diurutkan berdasarkan urutan alfabetis, diurutkan berdasarkan keutamaan sahabat, lebih dahulu masuk Islam, berdasarkan kabilah atau berdasarkan wilayah dimana sahabat tinggal. Dari beberapa model penyebutan nama sabahat tersebut, pengurutan berdasarkan alfabetis nampaknya lebih mudah dan banyak dipilih untuk proses pelacakan hadis.
Di antara kitab-kitab musnad yang sering digunakan dalam kegiatan takhri>j al-hadis adalah:
a) Musnad Ah}mad ibn H}anbal. Kitab ini berisi 40.000 hadis dan memuat 904 nama sahabat. Urutan nama sahabat di dalam kitab ini tidak disusun secara alfabetis melainkan berdasarkan: 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga, 4 sahabat yaitu ’Abdurrah}ma>n, Zaid, Haris dan Sa’d, Ahl Bayt, sahabat-sahabat yang masyhur, sahabat yang berdomisili di Makkah, Syam, Kuffah, Bashrah, orang-orang Anshar dan para sahabat wanita.
b) Musnad Abi> Bakr ’Abdulla>h ibn al-Zubayr al-H}umaydi. Kitab ini berisi 13.000 hadis dan memuat 180 nama sahabat. Pengurutan nama sahabat dalam kitab ini berdasarkah: khalifah empat (Abu Bakr, Umar, Uthman, Ali), 10 sahabat yang dijamin masuk surga, sahabat yang lebih dahulu masuk Islam, ummaha>t al-mu’mini>n, sahabat-sahabat wanita serta orang-orang anshar.
c) Musnad Abi> Da>wud Sulayma>n ibn Da>wud al-T}aya>lisy
d) Musnad al-Syafi’i
e) Musnad Abi> Ish}a>q Ibra>him ibn Nas}r
f) Musnad Asad ibn Mu>sa> al-Umawi
g) Musnad Yah}ya> ibn Abd al-Humayd al-H}amami
h) Musnad Abi> Khaysamah Zuhair ibn H}arb
i) Musnad Musaddad ibn Musarhad al-Asadi al-Bas}ri
j) Musnad Abi> Ya’la> Ah}mad ibn ’Ali> al-Musani al-Maus}ili
k) Musnad ’Ayd ibn H}umayd
l) Musnad ’Ubaydilla>h ibn Mu>sa> al-’Aysi
m) Musnad Nu’aym ibn H}amma>d, dan sebagainya.

2) Al-Ma’a>jim, yaitu kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat, guru-gunya, tempat tinggal atau yang lainnya berdasarkan urutan alfabetis. Di antara kitab-kitab mu’jam tersebut adalah:
a) Al-Mu’jam al-Kabir karya Abu> Qa>sim Sulaima>n ibn Ah}mad al-T}abarani (w.360 H)
b) Al-Mu’jam al-Awsat} karya Abu> Qa>sim Sulaima>n ibn Ah}mad al-T}abarani (w.360 H)
c) Al-Mu’jam al-S}agir karya Abu> Qa>sim Sulaima>n ibn Ah}mad al-T}abarani (w.360 H)
d) Mu’jam al-S}ah}abah karya Ah}mad ibn ’Ali> ibn Lali> al-H}amdani> (w. 398 H).
e) Mu’jam al-S}ah}abah karya Abu} Ya’la> Ah}mad ibn ’Ali> al-Mausilli> (w.308 H).

3) Al-At}ra>f, yaitu kitab yang di dalamnya di sebut sebagian saja dari suatu lafadz hadis dan diisyaratkan kelanjutannya dan diterangkan sanadnya baik seluruhnya atau sebagian besarnya. Urutan didasarkan pada nama-nama sahabat berdasarkan alfabetis. Di antara kitab-kitab At}ra>f yang masyhur antara adalah:
a) At}ra>f al-S}ah}ih}ayn karya Abu> Mas’u>d Ibra>him ibn Muh}ammad al-Dimasyqi> (w.410 H).
b) At}ra>f al-S}ah}ih}ayn karya Abu> Muh}ammad Khalla>f ibn Muh}ammad al-Wa>siti> (w.410 H).
c) Al-Asyra>f ’ala> Ma’rifati al-At}ra>f karya Abu> al-Qa>sim’Ali> ibn Al-H}asan yang terkenal dengan nama Ibn ’Asa>kir al-Dimasyqi> (w.571 H).
d) Tuh}fah al-Asyra>f bi Ma’rifat al-A’ra>f karya Abu >al-H}ajja>j Yu>su>f ibn Abd al-Rah}ma>n al-Ma>zi> (w.742 H).
e) At}ra>f al-Masa>nid al-Asyra>h karya Abu> al-’Abba>s Ah}mad ibn Muh}ammad al-Busyairi (w.840 H).
f) It}a>f al-Mahrah bi At}ra>f al-Asyra>h karya Ah}mad ibn ’Ali> ibn H}ajar al-’Asqala>ni (w.852 H).
g) Zakha>ir al-Mawa>ris fi al-Dila>lah al-Mawa>d}i’ al-Hadis karya ’Abd al-Ghani> al-Nabilisi (w.1143 H).

Kelebihan dari metode penelusuran nama-nama sahabat atau tabi’in melalui ketiga jenis kitab di atas adalah:
1. Dapat diketahui semua hadis yang diriwayatkan sahabat tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.
2. Ditemukannya banyak jalan periwayatan untuk matan yang sama.
3. Memudahkan untuk menghafal dan mengingat hadis yang diriwayatkan sahabat tertentu.

Adapun kelemahan dari metode tersebut adalah:
1. Membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menemukan sahabat tertentu dengan hadisnya (khususnya untuk kitab-kitab yang disusun tidak secara alfabetis).
2. Membuthkan waktu yang relatif lama untuk menemukan hadis tertentu dari seorang sahabat. Karena biasanya sahabat tidak meriwayatkan satu atau dua hadis saja.
3. Bervariasinya kualitas hadis yang terkumpul karena tanpa penyeleksian sehingga ada yang s}ah}i>h}, h}asan dan d}a’i>f.

b. Dengan mengetahui lafaz pertama suatu matan hadis (ma’rifati mat}la’i al-hadi>s).
Untuk mencari hadis dengan metode ini, diperlukan beberapa kitab dengan kualifikasi sebagai berikut:
1) Kitab-kitab yang memuat hadis-hadis masyhur di masyarakat, antara lain:
a) Al-Tazkirah fi al-Ahadis al-Musytahirah karya Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah al-Zakarsyi (w.975 H).
b) Al-La’a>li al-Mansu>rah fi al-Ah}a>dis al-Musytahirah karya Ibn H}ajar al-Asqalani (w.852 H).
c) Al-Maqa>sid al-Hasanah fi Baya>n Kasi>r min al-Ah}a>dis al-Musytahirah ’ala Alsinah karya al-Skha>wi (w.902 H).
d) Tamyi>z al-Tayyib min al-Khabi>s fi ma> Yadu>ru ’ala Alsinah al-Na>s min al-Hadi>s karya Abdurrahma>n ibn Ali> ibn al-Diba>’ al-Syaiba>ni (w. 944 H).
e) Al-Durar al-Muntasirah fi al-Aha>dis al-Musytahirah karya Jala>luddin Abdurrrah}ma>n al-Suyu>t}i> (w.911 H).
2) Kitab-kitab yang disusun berdasarkan alfabetis, antara lain:
a) Al-Ja>mi’ al-S}agi>r min Hadi>s al-Basyi>r al-Nazi>r dan Al-Ja>mi’ al-Kabi>r karya Jala>luddin Abdurrrah}ma>n al-Suyu>t}i> (w.911 H).
b) Al-Fath} al-Kabi>r fi D}amm al-Ziya>dah ila> Ja>mi’ al-Sagi>r karya Yusuf al-Nabhani.
c) Al-Ja>mi’ al-Azha>r min al-Hadis al-Nabi al-Anwa>r karya al-Manawi (w.1031 H).
3) Kitab (kamus) yang disusun oleh pengarangnya untuk kitab hadis tertentu, antara lain:
a) Untuk s}ah}i>h} al-Bukha>ri>, yaitu Ha>dy al-Ba>ri> ila> Tarti>b Ah}a>dis al-Bukha>ri.
b) Untuk s}ahi>h Muslim, yaitu Mu’jam al-Alfa>z} wa la> Siyyama al-Gari>b minha>.
c) Untuk S}ah}i>hayn, yaitu Mifta>h} al-Sah}i>hayn
d) Untuk al-Muwat}t}a’, yaitu Mifta>h} al-Muwat}t}a’
e) Untuk Sunan ibn Ma>jah, yaitu Mifta>h} Sunan ibn Ma>jah
f) Untuk Ta>ri>kh al-Bagda>di, yaitu Mifta>h} al-Tarti>b li Ah}a>dis Ta>ri>kh al-Khat}i>b

Kelebihan dari metode ma’rifati mat}la’i al-hadis adalah dapat diketahuinya sumber asli, sanad dan matan suatu hadis. Namun demikian metode ini mengharuskan peneliti untuk bekerja keras mengingat tidak dicantumkannya nomor halaman atau bab dari hadis tersebut pada kitab tertentu.
c. Dengan mengetahui sebagian dari lafaz suatu hadis, baik di awal, tengah maupun akhir (ma’rifah lafz}in min alfa}z}i al-hadi>s)
Kitab yang paling representatif untuk metode ini adalah karya Arnold John Wensinck al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazi al-Hadis al-Nabawi al-Nabawi yang diterjemahkan oleh Muhammad Abdul Baqi. Kitab ini merupakan kitab kamus bagi 9 kitab hadis yang populer (sahih Bukha>ri dan Muslim, Sunan al-Tirmi>zi>, Sunan al-Nasa>’i, Sunan Abu> Da>wud, Sunan Ibn Ma>jah, Sunan al-Da>rimi, al-Muwat}t}a’ Imam Ma>lik dan Musnad Ah}mad ibn H}anbal).
Kelebihan dari metode ini adalah peneliti dapat dengan cepat mengetahui sumber asli sebuah hadis hanya dengan menggunakan sebagian lafaz hadis (ism atau fi’il). Dalam kamus ini kitab rujukan dilengkapi dengan nama bab, nomor bab atau nomor hadis serta nomor juz dan halamannya. Metode ini juga memudahkan peneliti untuk mencari hadis-hadis dan sumbernya yang memiliki matan sama atau hampir sama.
Adapun kelemahan dari metode ini adalah peneliti harus mengetahui kata dasar dari dari lafaz yang digunakan pedoman pencarian. Selain itu kamus tersebut hanya memuat 9 kitab hadis populer, sehingga jika matan hadis dimaksud tidak terdapat dalam 9 kitab tersebut maka kamus tidak dapat melacaknya. Kelemahan lainnya adalah kata kunci yang digunakan harus berupa kata benda (ism) atau kata kerja (fi’il) yang tidak sering digunakan. Apabila pencarian menggunakan huruf, kata ganti (d}amir), nama orang atau kata kerja yang sering digunakan, maka kamus tidak bisa melacaknya.

d. Dengan mengetahui tema hadis (ma’rifati maud}u>’i al-hadi>s)
Kitab-kitab yang bisa digunakan untuk metode ini ada beberapa klategori, yaitu:
1) Al-Jawa>mi’, antara lain:
a) Al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h} karya Abu> Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>’il al-Bukha>ri.
b) Al-Ja>mi’ bayna al-S}ahi>hayn karya Isma>’il ibn Ah}mad.
c) Al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h karya Imam Muslim.
d) Al-Ja>mi’ bayna al-S}ahi>hayn karya Muhammad ibn Abi> Nas}r al-Humaydi.
2) Kitab-kitab Mustakhraj, antara lain:
a) Mustakhraj S}ah}i>h} al-Bukha>ri karya al-Git}rifi>
b) Mustakhraj S}ah}i>h} Muslim karya Abu> ’Awa>nah ibn al-Isfara>yini.
c) Mustakhraj S{ah}i>hayn karya Abu> Nu’aim al-Is}biha>ni>.
3) Al-Majami’, antara lain:
a) Al-Jam’ bayn al-S{ah}i>h}ayn, karya al-Sagani al-Hasan ibn Muhammad.
b) Al-Jam’ bayn al-S{ah}i>h}ayn, karya Abu> Abdilla>h ibn Abi> Nas}r Futu>h} al-H}umaydi.
c) Al-Jam’ bayn al-Us}u>l al-Sittah, karya Ibn al-Asi>r.
4) Al-Mustadraka>t, antara lain:
a) Al-Mustadrak, karya al-H}a>kim.
b) Al-Mustadrak, karya Abi> Zarr al-H}ara>wi.
5) Al-Zawa>’id, antara lain:
a) Mis}ba>h} al-Zuja>jah fi Zawa>’id ibn Ma>jah, karya al-Busayri>.
b) Fawa>’id al-Muntaqa> li Zawa>’id al-Bayhaqi>, karya al-Busayri>.
c) Ittih}a>f al-Sa’a>dah al-Mahrah al-Khayrah bi Zawa>’id al-Masa>nid al-’Asyrah, karya al-Busayri>.
6) Kitab Miftah Kunuz al-Sunnah
Kitab ini disusun oleh A.J. Wensinck dan telah dialih bahasakan ke dalam Bahasa Arab oleh Muhammad Abdul Baqi. Jumlah kitab yang dijadikan rujukan sebanyak 14 kitab yaitu sahih Bukha>ri dan Muslim, Sunan al-Tirmi>zi>, Sunan al-Nasa>’i, Sunan Abu> Da>wud, Sunan Ibn Ma>jah, Sunan al-Da>rimi, al-Muwat}t}a’ Imam Ma>lik, Musnad Ah}mad ibn H}anbal, Musnad Abi Dawud al-Tayalisi, Musnad Zayd ibn Ali, Sirah ibn Hisyam, Magazi al-Waqidi dan Tabaqat ibn Sa’d.
Kelebihan dari metode tematik ini adalah banyaknya hadis yang bisa ditemukan berdasarkan tema tertentu. Adapun kelemahannya adalah sulitnya menentukan suatu potongan matan hadis atau suatu matan hadis masuk dalam tema apa karena bisa jadi ada perbedaan persepsi antara penyusun kitab dan peneliti (penelusur hadis).

e. Dengan mengamati secara mendalam keadaan sanad dan matan
Yang dilakukan dalam metode ini adalah melihat petunjuk dari sanad, matan atau sanad dan matan secara bersamaan. Petunjuk dari matan misalnya adanya kerusakan pada makna hadis, menyalahi al-Qur’an atau petunjuk yang menyatakan hadis tersebut palsu dan lain sebagainya. Kitab-kitab yang bisa menjadi rujukan antara lain:
1) Al-Maud}u>’a>t al-Sug}ra> karya Ali> al-Qa>ri (w.1014 H).
2) Tanzi>h al-Syari>’ah al-Marfu>’ah an al-Ah}a>dis al-Syani>’ah al-Maud}u>’ah, karya al-Kina>ni (w.963 H).
Petunjuk lain dari matan yaitu bila dikatahui matan tersebut adalah matan hadis qudsi. Kitab yang dapat dijadikan rujukan dalam hal ini adalah:
1) Misyka>t al-Anwa>r, karya Muh}y al-Di>n Muh}ammad ibn Ali> ibn al-Arabi al-Kha>timi (w.638 H).
2) Al-Ittih}a>fa>t al-Saniyyah bi al-Ah}a>dis al-Qudsiyyah, karya Abd al-Ra’u>f al-Muna>wi (w. 1031 H).
Petunjuk dari sanad misalnya sanad yang rawinya meriwayatkan hadis dari anaknya. Kitab yang menjadi rujukan antara lain Riwa>yah al-Aba>’ an al-Aba>’ karya Abu> Bakar Ah}mad ibn Ali> al-Bagda>di. Keadaan sanad yang musalsal, dengan rujukan kitab antara lain: al-Musalsal al-Kubra> karya al-Suyu>t}i>, atau keadaan sanad yang mursal dengan kitab rujukan al-Mara>sil karya Abu> Da>wud al-Sijista>ni dan karya al-Ra>zi.
Petunjuk dari sanad dan matan secara bersamaan dapat dirujuk pada kitab:
1) Ilal al-Hadis karya Ibn Abi> H}a>tim al-Ra>zi.
2) Al-Asma>’ al-Mubhamah fi anba>’ al-Muh}kamah, karya al-Kha>t}ib al-Bagda>di.
3) Al-Mustafa>d min Mubhama>t al-Matan wa al-Isna>d, karya Abu> Zurah Ah}mad ibn Abd Rahi>m al-Ira>qi.
Kelebihan dari metode kelima ini adalah ditemukannya hadis yang dicari dalam kitab rujukan dengan adanya penjelasan tambahan dari penyusunnya. Adapun kekurangannya adalah perlunya pengetahuan yang mendalam bagi penelusur hadis untuk mengetahui keadaan sanad dan matan hadis.

Contoh Penelusuran Hadis Konvensional
Dalam contoh ini penelusuran hadis akan dilakukan menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>zi al-Hadi>s karya AJ. Wensinck. Penelusuran didasarkan pada lafaz yang terdapat dalam matan hadis. Sebelum melakukan penelusuran, terlebih dahulu akan dijelaskan secara ringkas mengenai kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>zi al-Hadi>s.
Kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>zi al-Hadi>s hanya memuat 9 kitab hadis populer, sehingga apabila terdapat riwayat yang sama dalam kitab lain (selain 9 kitab tersebut) maka tidak dapat diakses. Untuk mempermudah pencarian, kata yang digunakan sebagai kata kunci pencarian harus berupa kata yang jarang digunakan. Metode ini oleh Mah}mu>d al-Taha>n disebut dengan metode takhri>j ’an t}ari>qi kalimat yaqillu dawra>tuhu.
Kitab al-Mu’jam disusun menurut urutan huruf hijaiyyah (alfabetis) dengan mengambil unsur dari kalimat tersebut dan pada setiap lafaz diawali dari bentuk fi’il ma>d}i, mud}a>ri’, amr, ism fa>’il dan ism maf’u>l. Untuk mempermudah penggunaan, perlu diperhatikan kode-kode yang terdapat dalam al-mu’jam, antara lain:
1. Kode mukharrij : (
خ ) untuk kitab sahih al-Bukhari ( م ) sahih muslim ( ت ) Sunan al-Tirmizi ( د ) Sunan Abi Dawud ( ن ) Sunan al-Nasa’i ( جه ) Sunan Ibn Majah ( ص ) Sunan al-Darimi ( ط) al-Muwatta’ dan ( حم) Musnad Ahmad ibn Hanbal.
2. Setelah kode tersebut diikuti nama ”kitab”misalnya:
م الإيمان: 3 2 kode ini menunjukkan bahwa hadis yang dicari berada pada kitab sahih muslim bab ”al-Iman”. Nomor setalah penyebutan bab menunjukkah nomor urut hadis (untuk sahih al-Bukhari dan Muslim) dan menunjukkan nomor bab untuk kitab selain sahih al-Bukhari dan Muslim. Adapun khusus untuk kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal menggunakan angka tebal dan tipis. Angka tebal untuk menunjukkan jilid kitab, sementara angka tipis untuk menunjukkan halaman kitab.
3. Dalam al-Mu’jam terkadang juga terdapat tanda (**) setelah kode seperti pada point 2 di atas. Ini menunjukkan bahwa lafaz pada hadis yang ditunjuk oleh point 2 tersebut memiliki pengulangan.
Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh pencarian hadis di bawah ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة أن تؤخر صلاة حتى بدخل وقت أخرى
Berdasarkan penelusuran melalui kata tafri>t}, terdapat tiga model yang digunakan di dalamnya, sekaligus kitab rujukan yang memuat matan hadis yang dimaksud, antara lain:
ليس فى النوم تفريط- تفريط فى النوم – إنما التفريط فى اليقظة
د صلاة 1 1, ت: مواقت 6 1, ن: مواقت 3 5, جه: صلاة 0 1, حم: 5, 5 0 3
ليس فى النوم تفريط- إنما التفريط على من لم يصلى الصلاة حتى يجئ وقت الصلاة الأخرى
م: مساجد 1 1 3
لاتفريط فى النوم (إنما التفريط فى اليقظة)
د: صلاة 1 1, حم: 5, 8 9 2
Berdasarkan panduan al-Mu’jam tersebut penelusuran hadis dilakukan pada kitab-kitab hadis yang ditunjuk, dan kesemuanya dapat ditemukan meskipun penomoran tidak mesti sama dengan yang tertera dalam al-Mu’jam, kecuali untuk Musnad Ahmad yang sama persis dengan penomoran al-Mu’jam. Hal ini bisa terjadi karena kitab rujukan yang digunakan peneliti dengan kitab yang digunakan pengarang al-Mu’jam berbeda penerbit maupun tahun terbitan, sehingga menyebabkan pergeseran halaman atau bab yang tidak terlalu jauh.
Dari petunjuk di atas dapat dipahami bahwa matan hadis tersebut dapat dilacak dalam Sunan Abi Dawud bab “shalat”, Sunan al-Tirmizi bab “mawa>qit”, Sunan ibn Ma>jah bab “shalat”, Musnad Ahmad ibn Hanbal jilid 5 halaman 305 dan 298. Adapun redaksi lengkap dari matan hadis di atas dalam kitab-kitab aslinya adalah sebagai berikut:
1. Redaksi Abu Dawud melalui jalur sanad al-Abbas:
ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة أن تؤخر صلاة حتى يدخل وقت أخرى
2. Redaksi Abu> Da>wud melalui jalur Mu>sa> ibn Isma>’il:
إنه لا تفريط فى النوم إنما التفريط فى اليقظة فإذاسها أحدكم عن صلاة فليصلها حين يذكرها ومن الغد للوقت
3. Redaksi Muslim:
أما إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط على من لم يصل الصلاة حتى يجئ وقت الصلاة الأخري فمن فعل ذلك فليصلها حين ينتبه لها فإذا كان الغد فليصلها عند وقتها
4. Redaksi al-Tirmi>zi:
إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكر
5. Redaksi al-Nasa>’i dari jalur Qutaybah:
إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكر
6. Redaksi al-Nasa>’i dari jalur Suwaid:
إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فيمن لم يصل الصلاة حتى يجئ وقت الصلاة الأخري حين ينتبه لها
7. Redaksi Ibn Ma>jah:
ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها ولوقتها من الغد
8. Redaksi Ahmad ibn Hanbal dari jalur Hasyim:
ليس التفريط فى النوم إنما التفريط فى اليقظة
9. Redaksi Ahmad dari jalur Ya>zid:
لاتفريط فى النوم إنما التفريط فى اليقظة فإذا كان ذلك فصلوها ومن الغد وقتها
C. Takhrij Al-Hadis Menggunakan Perangkat Computer (Digital)
Melakukan takhrij hadis secara konvensional adalah sangat baik, namun demikian ia membutuhkan waktu yang relatif lama. Untuk mempercepat proses penelusuran dan pencarian hadis, jasa computer dengan program Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah dapat digunakan. Program ini merupakan software computer yang tersimpan dalam compact disk read only memory (CD-ROM) yang diproduksi oleh Sakhr tahun 1991 edisi 1.2.
Program ini memuat seluruh hadis yang terdapat dalam 9 kitab hadis (al-kutub al-tis’ah) yaitu: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan ibn Majah, Musnad Ahman ibn Hanbal, Muwatta’ Malik dan Sunan al-Darimi lengkap dengan sanad dan matannya. Di samping itu, program ini juga mengandung data-data tentang biografi, daftar guru dan murid, al-jarh wa al-ta’dil, dan semua periwayat hadis yang ada di dalam al-kutub al-tis’ah. Program ini juga dapat menampilkan skema sanad , baik satu jalur maupun semua jalur periwayatannya.
Secara umum, penelitian hadis yang bisa dilakukan melalui CD program tersebut mencakup lima aspek, yaitu:
1. Takhrij al-hadis (pelacakan hadis pada 9 kitab hadis lengkap dengan sanad dan matannya.
2. I’tibar al-Sanad, yaitu pembeberan seluruh jalur sanad pada sebuah hadis atau berita dengan maksud untuk mengetahui sejauh mana tingkat hadis tersebut ditinjau dari aspek kualitas rawinya.
3. Naqd al-sanad, yaitu kiritik sanad atau tinjauan aspek kualitas dan persambungan (ittisal) mata rantai sanad yang dimiliki oleh suatu hadis, guna mengetahui sisi kualitas hadis dilihat dari aspek wurud al-hadis.
4. Naqd al-matan, yaitu kritik matan atau tinjauan redaksional maupun substansial dari sebuah berita atau hadis yang telah diketahui secara pasti orisinalitas dan otentisitas hadis tersebut dalam tinjauan sanad.
5. Natijah, yaitu kesimpulan akhir dari sebuah penelitian tentang hadis tertentu baik nilai sanad maupun nilai matannya.
Dari kelima aspek di atas, hanya tiga aspek yang bisa diakses secara lengkap dan jelas melalui program CD hadis. Semantara dua aspek yang lain membutuhkan perangkat yang lain di luar CD hadis, yaitu kekuatan analisis peneliti dalam meneliti hadis baik dari aspek “tersurat” maupun “tersirat” dari hadis yang diteliti, di samping tentunya kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai kaidah yang berlaku dalam penelitian hadis. Kedua aspek ini adalah naqd al-matan dan natijah. Sementara tiga aspek yang dimungkinkan penelitiannya secara capat dan lengkap melalui CD hadis adalah takhrij al-hadis, i’tibar al-sanad dan naqd al-sanad.
Untuk menelusuri dan mencari hadis dengan program ini, ada 8 cara yang bisa ditempuh, yaitu:
a. Dengan memilih lafadz yang terdapat dalam daftar lafaz yang sesuai dengan hadis yang dicari.
b. Dengan mengetik salah satu lafaz dalam matan hadis.
c. Berdasarkan tema hadis.
d. Berdasarkan kitab dan bab yang sesuai dengan kitab aslinya.
e. Berdasarkan nomor urut hadis.
f. Berdasarkan pada periwayat hadis.
g. Berdasarkan aspek tertentu pada hadis.
h. Berdasarkan takhrij hadis.

D. Penutup
Demikian Panduan Praktikum Takhrij al-Hadis ini disusun, dengan harapan semoga para Peserta Workshop Takhrij Hadits Manual dan Digital bisa mendapatkan manfaat darinya. Kritik dan saran konstruktif senantiasa penyusun harapkan guna perbaikan buku panduan ini di masa mendatang.

Kata Kunci artikel ini: